Tulisan sebelumnya: http://dewikusumapratiwi.blogspot.com/2013/07/catatan-pendakian-gunung-merbabu-part-1.html
Jumat, 5 Juli 2013, pukul 4 sore, aku menuju sanggar Pramuka ITB. Aku bukan anak sanggar, namun ketika aku masuk ke dalamnya, aku disambut hangat oleh anggotanya. Aku sempat berkenalan dengan beberapa penghuni sanggar. Dan carierku telah siap menantiku di sana karena siangnya telah dijemput Bibit dari kosanku. Sebelum berangkat, carierku di-re-packing oleh Bibit dan Angga karena aku salah cara packing sehingga carierku menjadi sangat tinggi, ramping, berat, dan mudah jatuh. Aku pikir, yang lain ikut bersama kami juga, namun ternyata tim keberangkatan kami hanya bertiga karena ada yang cancel tiba2 dan yang lain sudah ada di Jogja.
Jumat, 5 Juli 2013, pukul 4 sore, aku menuju sanggar Pramuka ITB. Aku bukan anak sanggar, namun ketika aku masuk ke dalamnya, aku disambut hangat oleh anggotanya. Aku sempat berkenalan dengan beberapa penghuni sanggar. Dan carierku telah siap menantiku di sana karena siangnya telah dijemput Bibit dari kosanku. Sebelum berangkat, carierku di-re-packing oleh Bibit dan Angga karena aku salah cara packing sehingga carierku menjadi sangat tinggi, ramping, berat, dan mudah jatuh. Aku pikir, yang lain ikut bersama kami juga, namun ternyata tim keberangkatan kami hanya bertiga karena ada yang cancel tiba2 dan yang lain sudah ada di Jogja.
(Sanggar Pramuka ITB)
Jam 5
lewat kami berangkat, ngaret dikit dari jadwal namun berakibat fatal sehingga
kami ketinggalan bus Bandung-Jogja, akhirnya kami naik bus Bandung-Purwokerto.
Perkiraan sampai di Purwokerto jam 12 malam, ternyata sampai sana sekitar jam
2an. Kami pun shalat jamak maghrib-isya kemudian menunggu waktu subuh di depan
masjid sambil makan. Setelah shalat subuh, kami menunggu kedatangan bus Purwokerto-Jogja sampai jam 5. Akhirnya
kami dapet yang kloter setengah 6 karena kloter pertama sudah penuh. Semua
ngaret dari jadwal karena di jadwal, sampai homebase jam 9 pagi. Alhamdulillah,
bus yang kami naiki bukan executive lagi tapi VIP or exclusive class. Setiap
deretan kursi dilengkapi dengan monitor kecil, setiap kursi terpisah dan dapat
dijadikan tempat rebahan, AC yang bisa diatur2, pijakan kaki, tempat minum, TV
dan DVD di depan, stop kontak (untuk charger) di setiap kolong tas masing2
kursi, dan toilet.
(Efisiensi Bus, Executive Purwokerto-Jogja)
Di dalam bus, menjelang siang, aku lupa dengan rasa lapar
karena nyamannya fasilitas bus dan indahnya pemandangan kampung. Hal itu
membuatku menikmati jepretan kamera HP aku dan menjadikanku teringat akan
kampung halaman nenekku.
(Salah dua dari beberapa jepretan kamera HPku)
Lama2 aku menjadi bosan, tak ada teman ngobrol karena
yang lain tidur. Hingga sampai di kota Purworejo, aku berharap segera sampai
karena kutahu, Purworejo berbatasan dengan Jogja. Pemandangan kota Purworejo
membuatku cukup melupakan kejenuhanku.
(Restoran ini membuatku over estimate kalau mereka akan mengajakku mampir ke warung makan khas Jogja)
Hingga memasuki kota Jogja, dan kulihat
banyak sekali restoran gudheg. Yang aku bayangkan, ketika turun nanti, aku bisa
mampir di restoran, makan nasi gudheg Jogja asli dan es campur. Ternyata aku
memang sudah lapar. Kemudian kami sampai di terminal Jogja sekitar jam 10an.
Setelah turun, Angga sama Bibit nampak buru2, namun seperti biasa, Angga selalu
setia berada di belakang untuk menjagaku. Kulihat banyak warung gudheg namun
mereka terlalu terburu2 menghampiri bus menuju Solo. Aku hanya bisa
mengikutinya.
(di Terminal Jogja)
Di bus Jogja-Solo, cukup membosankan karena panas. Namun aku
lebih bersyukur dan lebih memperhatikan mereka berdua karena aku mendapatkan
tempat duduk, sedangkan mereka tidak. Hingga Bibit sudah duduk, Angga masih
berdiri. Rasanya ingin menggantikannya namun saat itu masih canggung dan belum
terlalu akrab dengannya. Dan ketika berdiri, Angga selalu mendekat denganku
karena menjagaku, sedangkan Bibit berada jauh di depan.
Sekitar jam 11, aku baca sms. Ada
sms dari Anggi, salah satu teman backpackerku seminggu sebelum itu ke 3 pulau
di Lampung Selatan. Salah satu nama pulaunya adalah pulau Puhawang, di mana di
sana adalah daerah endemik Malaria sehingga sebelum memasuki pulau itu, kami
harus meminum obat Malaria terlebih dahulu dan pada hari yang sama, setiap
pekan kita harus meminumnya selama sebulan ke depan. Saat itu kami minum
sekitar jam 8 pagi sehingga sebagai ketua tim aku harus mereminder semua
temen2 backpackerku untuk meminumnya setiap Sabtu pagi. Mungkin Karena Anggi
merasa tidak mendapatkan reminder dari aku sehingga dia yang mereminder. Dan
memang, aku lupa sama sekali untuk meminum obat itu, apalagi mereminder yang
lain. Yang aku lakukan saat itu juga spontan adalah aku menjarkom semua
teman2ku. Kemudian aku sms Bibit yang ada di depan, “Bit, turun dari bus ini
kita makan ya? Aku belum minum obat”. Saat itu memang rasanya sudah lapaaaar
sekali. Bibit mengiyakan. Yang aku bayangkan masih nasi gudheg Jogja dan es campur. Namun, semakin ke sini, semakin
jarang warung gudheg yang aku lihat, ternyata kami sudah masuk daerah Klaten. Dan
sampailah kami di terminal Klaten, dekat rumah Adam. Saat itu aku tidak tahu kalau
sudah dekat sehingga masih membayangkan hal yang sama dan ternyata Bibit PHP,
“kita makan di rumah Adam sekalian aja ya?”. Dengan sedikit kecewa, aku bilang,
“iya deh”.
Kami dijemput 3 orang teman kami yang sudah berada di rumah Adam
dengan naik motor. Dan di sanalah aku pertama kenalan dengan Meli. Aku pun dibonceng
Meli dan kami naik motor menuju rumah Adam dengan kecepatan yang cukup tinggi (gatau berapa km/jam)
dalam waktu 10 menit. Sampai di rumah Adam sekitar pukul 12 siang, kami disambut oleh teman2 yang lain dan
masakan ibunya Adam. Alhamdulillah. Setelah makan aku mandi, shalat, kemudian
re-packing karena barang yang boleh dibawa ke atas hanyalah yang penting saja.
Planning awal, sampai di rumah Adam jam 10 supaya bisa istirahat karena jam 2
berangkat ke basecamp gunung Merbabu, namun dari waktu aku sampai di rumah Adam
hingga jam 2 tidak ada waktu istirahat sama sekali kecuali saat makan. Namun
semangatku mengalahkan rasa lelahku. Banyak teman dan kenalan baru di sana.
Tepat jam 2 kami sudah siap
berangkat dan mobil (seperti elf) pun sudah berada di depan rumah. Sebagai
ketua tim, Agis menyampaikan kode etik pecinta alam, “Semoga kita kembali lagi
dengan utuh, yang boleh tertinggal hanyalah jejak dan kenangan. Jangan pernah
mengambil apa2 di sana kecuali hanyalah gambar”, kemudian kami berdo’a, foto
full team, lalu berangkat.
(Poto sebelum berangkat di depan rumah Adam --> belum diupload karena masih di kamera Agis)
Di mobil, ada yang tidur, namun ada yang cerita.
Tadinya aku ingin tidur karena di bus Purwokerto-Jogja, aku tidak bisa tidur.
Namun tidak bisa, sehingga seperti biasa, aku meramaikan isi mobil. Yang tidur,
tetap tidur. Hingga sampai di kaki gunung Merbabu, aku mulai mengambil gambar2
pemandangannya dengan kamera HP aku.
(suasana di dalam mobil)
(hasil jepretan kamera HPku sepanjang perjalanan di kaki Gunung Merbabu)
Sampai di basecamp sekitar pukul setengah
4. Di sana kami melakukan prepare. Ada yang shalat ashar (timnya Ilham,
sedangkan tim kami sudah jamak-qasar sebagai musafir di rumah Adam), ada yang
beli perlengkapan yang belum dibeli, dan sebagian besar dari kami poto2 serta
ngobrol2. Sekitar setangah 5 kami melakukan pemanasan. Kulihat, Agis dan Ilham
beserta timnya tidak ikut melakukan pemanasan. Mungkin karena mereka sudah
terbiasa olahraga. Sedangkan aku, saat itu aku dalam kondisi jarang olahraga,
apalagi setelah pulang dari backpacker. Seperti biasa, pemanasan dilakukan
untukmeregangkan otot2. Yang paling terakhir adalah senam ala Merbabu buatan
Agis (sebenernya Cuma push up kuda2) untuk melatih kekuatan paha untuk menahan
beban tubuh dan carier yang kami bawa.
(basecamp Gunung Merbabu)
(sebelum pendakian di depan basecamp)
Jam 5 tepat, kami mulai melakukan
pendakian. Tentunya, sebelumnya kami berdo’a dengan sangat khusyuk untuk
memohon keselamatan dan kelancaran selama pendakian sampai kami kembali
ke rumah Adam. Saat itu aku sudah melupakan isi jadwal. Namun yang aku ingat
dari penjelasan Ilham, kami bakal melewati pos 1, pos 2, pos 3, sabana 1,
sabana 2, dan sabana 3. Yang aku ingat, di jadwal, kami akan ngecamp di sabana
2, namun di penjelasan Ilham, target kami ngecamp di sabana 1 pakai kata “jika
mampu”. Kata Ilham, kami bisa sampai sabana sekitar jam 10, atau
jam 11, atau jam 12 (banyak kata ataunya, dan itu yang membuatku cukup sanksi
saat itu). Namun kata Ilham, “kita santai saja (yang penting sampai dengan
selamat)”. Kemudian kami atur barisan. Jumlah kami ada 15 orang dengan ketua tim adalah Agis. Sebelumnya kami sudah bilang
ke timnya Ilham yang sudah expert, “maaf mas, kalau kami bakal memperlambat
tim”. Dan mereka pun memaklumi itu. Kemudian kami berangkat. Aku sengaja meminta berada di paling depan setelah ketua tim karena seperti biasanya, aku lebih akan bersemangat jika berada di depan. Seperti saat ujian di kampus, jika duduk di belakang aku menjadi kurang fokus. Saat itu, mataku
hanyalah fokus ke depan dan banyak mengingat Allah. Pendakian pertama, cukup stress. Namun, meskipun harus memimpin tim dan
mencari jalan, Agis masih sempat mengajak aku ngobrol dan di awalnya dia
bertanya, “muncak ke berapa teh?”. Dengan jujur aku bilang, “pertama Gis”.
Obrolan dia cukup membuatku lupa dengan kestressanku. Aku mulai menikmati
perjalanan. Kesan pertamaku, “oh, gunung beneran kayak gini ya? Beda banget
sama Tangkuban Perahu”. Hehe. Padahal itu masih di jalur menuju pos I dan itu
jalur paling mudah karena masih cukup landai. Hari semakin gelap, ada yang
mulai menyalakan senter namun masih dilarang, katanya sampai batas memang tidak
terlihat saja kami diperbolehkan menyalakan senter supaya hemat baterai. Di sana ada yang bilang (aku kurang
perhatian selama di perjalanan karena aku selalu fokus ke depan), “ntar kalau
maghrib, kita langsung shalat aja dulu Gis, cariin tempat yang datar”. Saat itu
kami sudah berada di tengah hutan dan hari semakin gelap sehingga kami harus
menyalakan senter. (Dokumen selama pendakian sampai di tempat camping hampir tidak ada karena semua fokus pada perjalanan).
Sekitar pukul 6 lebih mungkin
(sudah lewat adzhan maghrib tentunya), kami menemukan tempat yang cukup datar,
kemudian kami shalat jamak-qasar maghrib-isya’ di sana. Lantunan bacaan sang
imam terdengar begitu merdu, lantunan bacaan QS. Ar Rahman terasa begitu indah,
mengharukan, dan merasuk ke dalam Jiwa. Subhanallah, saat itu merasa shalat
dengan khusyuk di tengah gelapnya hutan Merbabu. Selesai shalat, aku berdo’a
dengan penuh harap, yang lain pun kurasa demikian. Saat itu, aku mulai kedinginan.
Telapak tanganku seakan2 membeku. Saat itu juga Bibit sadar kalau ada spek yang
kurang, yaitu kaos tangan. Lalu Bibit memberikan slayernya untuk dibalut di
tanganku. Dan Indah memberiku kehangatan dengan menekan2 tanganku dan memberikan kupluknya untuk dibalut
di tanganku. Cukup lumayan setelah itu meskipun masih dingin. Kemudian kami
melanjutkan perjalanan kembali. Aku selalu berusaha diam dan terus melangkah
meski rasanya ingin istirahat. Aku takut jika aku yang baru pertama kali melakukan pendakian ini semakin
memperlambat tim. Namun yang di belakang lebih sering meminta istirahat
sehingga aku rasa, itu adalah rezeki buat aku. Saat pertama kali kami
istirahat, ada yang bilang, “istirahatnya jangan lama2, kalau minum juga
jangan banyak2”. Aku pikir karena takut kehabisan air namun dengan penjelasan
Agis, aku jadi mengerti. Kenapa kita tidak boleh istirahat lama2? Supaya tidak
terlena. Dan tidak boleh minum banyak? Karena kalau kebanyakan minum jadi cepet
capek. Aku tsiqah (percaya pada pemimpin) saja dan sebisa mungkin kalau gak haus banget gak minum,
padahal biasanya paling rajin minum.
Meski ketika perjalanan aku tidak
berani berbicara, berkomentar dan mengeluh kecuali menjawab pertanyaan Agis,
namun sebelum melanjutkan perjalanan lagi, aku memberanikan diri untuk request,
“Agis, nanti semakin malam, jalannya semakin lambat aja ya?” Karena saat itu
malam semakin mencekat, dingin, dan terasa begitu horor. Aku takut tertinggal dan tidak kuat
menyusul langkah Agis. Perjalanan setelah kami shalat, tracknya memang semakin
berat. Kami melewati jalan di atas jurang sehingga kami harus selalu rapat
kanan. Sesekali kami menemui lubang sehingga harus saling mengingatkan. Cukup melelahkan
karena kami harus selalu fokus. Saat itu pandangan mataku mulai kabur dan aku
hanya bisa selalu fokus pada langkah kaki Agis dan tidak berani melirik2 sekitarku
karena hari semakin gelap dan banyak hal2 aneh di sekitarku jika dirasakan dan
diperhatikan. Mulai semakin mistis, namun di saat yang bersamaan, aku semakin
berusaha mendekatkan diri kepada Allah. Tasbih, tahmid, tahlil, hamdalah, dan
istighfar yang selalu aku ulang2 dan mataku tetap fokus pada langkah kaki Agis. Aku
selalu berusaha merapatnya, meski terkadang aku tertinggal namun dia cukup
sabar menanti. Juga ada dimas di belakangku yang selalu mendekat, keberadaan mereka cukup
membuatku tenang di kondisi yang mistis itu. Saat itu, fokus Agis cukup tersita
untuk mencari jalan sehingga keadaan hening dan tidak ada yang mengajakku
bicara. Yang di belakangpun, yang biasanya ngobrol, jadi mendadak bungkam.
Ternyata memang kami sedang melewati hutan dan jurang. Cukup panjang kami tidak
istirahat, hingga ada yang minta istirahat namun saat itu lebih sulit mencari
tempat istirahat karena di daerah jurang. Berbeda dengan track sebelumnya yang
bisa istirahat di manapun. Ketika sampai di pos 1, hatiku melega dan aku
mengucapkan rasa syukur. Semangat baru kembali muncul, “go to post 2”. Memang
di sepanjang perjalanan aku cukup diam dari kebiasaanku, namun ketika di tempat
peristirahatan, aku mengeluarkan ekspresiku. Aku mulai kepo, “post 2 jauhnya
sepanjang ini juga?” Ilham bilang iya. Spontan aku mengeluh, “yaaaahhhhh”. Namun
aku masih tetap semangat menjalaninya karena istirahat yang sebentar cukup untuk mengumpulkan power. Di post 1 mereka
makan biskuit dan minum madu, sedangkan seperti biasa, aku paling males ngemil.
Namun mereka memaksaku. Aku ambil satu potong kue.
Perjalanan menuju post 2 pun
berlanjut. Pada saat itu, aku merasa butuh energi namun aku hanya diam,
menunggu istirahat berikutnya. Sebenarnya kapanpun kita minta istirahat, pasti
diladeni namun aku selalu merasa takut memperlambat tim. Kemudian ada juga yang meminta
istirahat dan di sana aku minta madu karena aku rasa madu cukup efektif untuk
menambah energi. Aku bertanya kepada mereka, “ini jam berapa?” Namun tidak ada
yang mau menjawab pertanyaanku. Mungkin supaya aku tetap fokus pada tujuan,
bukan pada waktu. Pos 2 terasa sangat panjang sehingga muncul di benakku tanpa aku ungkapkan saat itu,
“please, kita ngecamp di pos 2 aja dong”. Sesekali kami bertemu dengan tim lain
yang sedang turun atau sedang istirahat. Saat itu memang malam minggu dan
gunung Merbabu sangat ramai. Kemistisan daerah itu aku rasa menjadi memudar
ketika kami sering bertemu dengan tim lain. Rasanya, mereka bagaikan saudara.
Seneeeeeengggggg banget kalau ketemu mereka. Kami pun saling bertegur sapa
dengan ramah dan mendapatkan semangat, “mari mas”; “semangat mbak”; “dari mana
mas?”; “dari Bandung”; “dari Karawang; “dari Boyolali; dll. Rasanya indah
sekali ukhuwah yang meskipun hanya sesaat itu. Perjalanan masih terasa panjang dan ketika bertemu dengan suatu tim, aku
nyelethuk bertanya, “mas, pos 2 masih jauh?” Dan ia jawab, “lumayan”.
“Yaaaahhhh”. Namun tetap harus semangat. Saat itu kami banyak istirahat.
Alhamdulillah, yang di belakang sering meminta istirahat. Namun hingga Agis
bilang, “ayo temen2 semangat! Banyak atau sedikit istirahat itu capeknya bakal
sama kok” (mungkin maksudnya supaya kami gak kebanyakan minta istirahat). Itu yang aku ingat dan
saat itu juga aku merasa itu teguran dari Agis kalau kami lambat. Setelah itu
aku berusaha semangat. Hingga kami menemukan plang, “1 km menuju post 2”, aku
menjadi semakin semangat dan mengungkapkan ekspresiku, “yeeeeyyyyyy, 1 km
lagi”. Kemudian aku jalan lebih cepat dan menghitung, “100 m”; “200 m”; “300
m”. Saat itu Agis tertawa, entah menertawakan kebodohanku atau tertawa senang
melihatku semangat. Hingga sampai aku mengira2 itu sudah 500 m, ada yang minta
berhenti. Kemudian ada yang bilang, “ini 1 km nya vertikal atau horizontal
nih?” Jleb, itu cukup membuatku down. “1 km vertikal?”. Namun Agis tetap selalu
memberikan semangat, “1 km track nya kok”. Namun ternyata dia PHP dan saat itu
ngeluhku mulai aku munculkan, “kok lama Gis?” Dan dia selalu bilang, “semangat
teh, post 2 di depan tuh”. Dan pola Agis memberikan smangat hampir sama
sehingga kadang aku bilang, “Agis bo’oooooonggggg”. Namun, aku tau bahkan aku
merasa, orang yang memberikan harapan itu penting banget meski dia harus PHP
karena jika terlalu jujur, kedownan itu akan semakin mucul. Harus ada kidding
beberapa saat di perjalanan untuk mencairkan suasana yang mencekat tersebut.
Semakin ke atas, hawa semakin dingin. Pos 1 menuju pos 2 memang cukup panjang.
Aku merasa itu sudah sangat malam dan aku merasa sudah menempuh perjalanan yang sangat
panjang. Dalam hatiku masih berkeinginan, “kita ngecamp nya di pos 2 aja dong,
pleaseeeeee”. Meskipun tadi aku sempat menyemangati yang lain, “ayooo, kita
harus sampai di sabana 1...” ^_^
Pada saat sampai di pos 2, aku sangat bahagia dan bersyukur. Kata2 sudah aku persiapkan untuk request ngecamp di sana saja. Namun, ternyata di pos 2 sudah penuh dengan tenda orang lain dan timku merasa tidak enak jika istirahat di sana. Pos 2 yang aku nanti2, bahkan aku harapkan untuk didirikan tenda kami di sana, ternyata untuk beristirahat saja tidak ada kesempatan. Mereka bilang, “Gis, cari tempat yang lapang buat makan malam”. Saat itu kekecewaanku agak terbayar, “hah? Makan malem? Berarti ini masih sore dong? Soalnya baru diajak makan. Oke, makan dulu…” Kami menemukan tempat datar namun cukup sempit untuk duduk ber-15. Kami makan di sana. Ilham dkk membuat api unggun dan membuat minuman hangat (nutri sari). Aku rasa, bekal makananku bakal kurang tapi ternyata minum nutri sari dua gelas saja cukup buat ber-15. Kemudian ada tim lain yang lewat, “mari mas….” Spontan kami menjawab, “nutria sariiiiii…. bukan mari mas” Kemudian kami pun tertawa. Suasana itu yang membuatku lupa akan perjalanan pos 1 menuju pos 2 tadi sehingga muncullah semangat baru, “harus nyampe sabana 1, Dew!”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan track nya semakin naik level. Saat itu senterku mulai meredup. Agis memberhentikan tim dan menyuruhku mengganti baterai. Kemudian, tracknya semakin sulit dan membuatku sampai merangkak sesekali. Hingga di tengah perjalanan, muncul lagi pikiran menyerah, “ngecampnya di pos 3 aja dong, pleaseeee”. Namun bagusnya, semua pikiran negatifku itu tidak aku ungkapkan. Agis memperhatikan aku yang kesulitan, meskipun aku tidak pernah bilang. Ia melepas kaos tangannya untuk dipinjamkan ke aku. “Pakai teh”. “Hah? Kamu?” “Gapapa, soalnya susah kalau pake itu (slayer Bibit dan kupluk indah yang aku balut2 ke tangan) dan harus megang senter”. Saat itu aku mencatat di otakku, “Selain kaos tangan, lain kali bawa headlamp! Karena megang senter melewati medan terjal sampai kita harus merangkak itu cukup repot”. Dia juga tidak mengenakan jaket karena jaket EP nya ia lepas. “Agiiiiiissss”. :’-) Dan di medan yang semakin sulit itu, Agis sesekali menarikku padahal dia sudah cukup membawa carier cukup berat yang isinya barang kepentingan umat (tenda dan logistik yang lain). Dengan semakin sulitnya medan, sempat terlintas lagi di pikiranku, "ngecamp nya di pos 3 aja dong..." Pada saat sampai di pos 3, aku bersyukur, namun tidak ditambah rasa senang seperti sebelumnya karena keadaan pos 3 berada di dekat lembah gitu, jadi dingin banget dan angin lembahnya cukup kenceng. Tanpa aku bilang, “kita ngecamp di pos 3 aja”, mereka sudah menjawab, “kita gak mungkin ngecamp di sini”. Entah dari mana mereka tau request pikiranku padahal aku tidak mengungkapkannya.
Pada saat sampai di pos 2, aku sangat bahagia dan bersyukur. Kata2 sudah aku persiapkan untuk request ngecamp di sana saja. Namun, ternyata di pos 2 sudah penuh dengan tenda orang lain dan timku merasa tidak enak jika istirahat di sana. Pos 2 yang aku nanti2, bahkan aku harapkan untuk didirikan tenda kami di sana, ternyata untuk beristirahat saja tidak ada kesempatan. Mereka bilang, “Gis, cari tempat yang lapang buat makan malam”. Saat itu kekecewaanku agak terbayar, “hah? Makan malem? Berarti ini masih sore dong? Soalnya baru diajak makan. Oke, makan dulu…” Kami menemukan tempat datar namun cukup sempit untuk duduk ber-15. Kami makan di sana. Ilham dkk membuat api unggun dan membuat minuman hangat (nutri sari). Aku rasa, bekal makananku bakal kurang tapi ternyata minum nutri sari dua gelas saja cukup buat ber-15. Kemudian ada tim lain yang lewat, “mari mas….” Spontan kami menjawab, “nutria sariiiiii…. bukan mari mas” Kemudian kami pun tertawa. Suasana itu yang membuatku lupa akan perjalanan pos 1 menuju pos 2 tadi sehingga muncullah semangat baru, “harus nyampe sabana 1, Dew!”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan dan track nya semakin naik level. Saat itu senterku mulai meredup. Agis memberhentikan tim dan menyuruhku mengganti baterai. Kemudian, tracknya semakin sulit dan membuatku sampai merangkak sesekali. Hingga di tengah perjalanan, muncul lagi pikiran menyerah, “ngecampnya di pos 3 aja dong, pleaseeee”. Namun bagusnya, semua pikiran negatifku itu tidak aku ungkapkan. Agis memperhatikan aku yang kesulitan, meskipun aku tidak pernah bilang. Ia melepas kaos tangannya untuk dipinjamkan ke aku. “Pakai teh”. “Hah? Kamu?” “Gapapa, soalnya susah kalau pake itu (slayer Bibit dan kupluk indah yang aku balut2 ke tangan) dan harus megang senter”. Saat itu aku mencatat di otakku, “Selain kaos tangan, lain kali bawa headlamp! Karena megang senter melewati medan terjal sampai kita harus merangkak itu cukup repot”. Dia juga tidak mengenakan jaket karena jaket EP nya ia lepas. “Agiiiiiissss”. :’-) Dan di medan yang semakin sulit itu, Agis sesekali menarikku padahal dia sudah cukup membawa carier cukup berat yang isinya barang kepentingan umat (tenda dan logistik yang lain). Dengan semakin sulitnya medan, sempat terlintas lagi di pikiranku, "ngecamp nya di pos 3 aja dong..." Pada saat sampai di pos 3, aku bersyukur, namun tidak ditambah rasa senang seperti sebelumnya karena keadaan pos 3 berada di dekat lembah gitu, jadi dingin banget dan angin lembahnya cukup kenceng. Tanpa aku bilang, “kita ngecamp di pos 3 aja”, mereka sudah menjawab, “kita gak mungkin ngecamp di sini”. Entah dari mana mereka tau request pikiranku padahal aku tidak mengungkapkannya.
Dan, saat itu effortku lebih
untuk menuju sabana 1 karena itulah tempat tujuan terakhirku dan saat itu aku
berazzam, "cukup aku sampai sabana 1 ajah!" Namun aku masih rapat menyembunyikan pikiranku tersebut dan aku tetap berusaha diam selama perjalanan. Perjalanan
menjadi jauh semakin sulit. Hampir aku selalu merangkak dan mengangkat rokku. Hingga di tengah
perjalanan, Agis meminta daypackku dan bilang, “sini teh, saya aja yang bawa”. What???
Spontan aku menolak dan dia tetap memaksa. Entah kenapa saat itu dengan
mudahnya aku memberikannya. Dan aku merasa bodoh. Medan itu memang terjal dan
sulit, tanpa daypack saja aku masih merangkak2, namun kini tanpa uluran tangan
Agis karena aku tahu dia sudah cukup berat melewati medan tersebut dengan
membawa 2 tas. Tiba kami di suatu medan yang terjal dan penuh dengan semak
tinggi. Bibit mendahului tim dan berteriak, “kalau ada jalan yang lebih baik,
silahkan dilalui”. Belakang Bibit ada Agis, dan belakangnya ada aku. Aku
mendengar suara yang lain ada di seberang kananku, agak jauh. Ketika aku
menengok ke belakang, ternyata tidak ada orang lagi di belakangku. Spontan aku
teriak pelan, "aku gak mau paling belakaaaaaangggg”. Kemudian Agis pindah ke
belakangku. Tiba2 Bibit menemukan suatu batu, ia menyenteri dengan penuh
penasaran, “apa ini? Ini apa sih tulisannya?” Berkali2 ia mengucap kata “ini apa sih?”, karena senternya
tidak menjangkau (meredup) maka aku membantunya dan senterku cukup terang saat itu, pas
banget yang aku senterin adalah kata “wafat tanggal sekian, dan nama
seseorang”. Spontan aku shock dan bilang, “Apaan sih Bit? Ayo cepetaaannnn!” Aku
menggerutu pada Bibit dan cukup terlihat stress mungkin, sampai Agis bilang,
“udah teh, lupain aja, jangan diinget2 terus”. “Tapi keinget terus namanya…”
:’-( Dan saat itu aku memang lebay karena aku berpikir kalau itu batu
nisan tapi kata Bibit di setiap gunung ada batu seperti itu untuk mengenang teman mereka yang meninggal di gunung tersebut namun mayatnya
telah dibawa ke bawah. Aku hanya banyak mengucap istighfar dan meminta kekuatan
lagi kepada Allah. Tiba2 Agis berhenti dan aku bertanya, “Agis kenapa? Sini
tasnya”. Dan dia menjawab, “gapapa kok, cuma mau duduk aja”. Aku sangat curiga,
dia gak pernah istirahat duluan, bahkan ketika tim minta istirahat, dia jarang
ikut istirahat. Terkadang dia menunggu kami sambil berdiri, bahkan terkadang sambil mencari jalan ke depan. Namun
saat itu aku berpikir kalau dia keberatan tas. Aku minta namun ia tetap tidak mau
ngasih, malahan aku disuruh duluan. Entah kenapa aku merasa egois, aku maauuuu
aja disuruh duluan, namun sepanjang perjalanan aku memikirkan Agis. Dan
beberapa hari yang lalu aku kepoin dia, ternyata saat itu kaki dia kram. ;’-( Hingga
tim kami yang terpisah tadi bertemu kembali, aku melihat Agis masih berada di
bawah, aku berteriak, "Agis, kamu di mana?" Dia menyaut, artinya dia sudah mulai jalan. Aku masih egois untuk mendahului Agis, pikiranku adalah "cepetan sampai
di sabana 1". Ditambah suara yang di atas memberi harapan dan ternyata aku sudah
mau sampai sabana 1. Ketika sampai, yang pertama kali aku pikirkan adalah Agis.
Aku berteriak, “Agis mana? Dia gak ketinggalan kan?”. Kata yang lain, “itu
ada kok” (meski masih agak jauh). Dan aku kembali bersyukur dan menikmati indahnya sabana 1. Kita bisa melihat
bukit lampu kota yang sangaaatttttt luas dan sangat indah. Maha suci Allah
dengan segala ciptaan-Nya. Bentangan kota yang penuh dengan lampu tersebut
terlihat sangat indah, kami ingin mengabadikan gambarnya namun kamera kami
tidak ada yang sanggup menangkapnya karena terlalu jauh. Dan sepertinya kota
yang terlihat itu, terbentang dari Solo hingga daerah ke Semarang.
Di sabana 1 aku merasakan dingin
hingga menggigil. Memang sabana 1 indah namun kurang cocok dijadikan sebagai tempat
camping karena di tepi lembah banget sehingga angin lembah bergemuruh cukup
kencang bahkan suaranya seperti suara air. Saat itu aku merasa ada air terjun. Aku
mencoba terus bergerak namun selalu menggigil. Yang aku pikirkan adalah aku
segera masuk tenda, memakai jaket double dan slipping bag, lalu tidur. Aku
menawarkan bantuan kepada Agis yang sedang mengeluarkan tenda namun ternyata aku
perlu diajari cara memasang tenda. Dan aku baru mengerti saat itu. Kemudian
disusul Bibit yang membangun tenda untuk para laki2. Menurut jadwal, kami sampai di
sabana 2 pukul 11 malam dan kami mulai summit attack (melalui jalur puncak setelah sabana 3) jam 2 pagi. Namun saat itu
sampai di sabana 1 pukul 12 malam dan
meski menyerah, aku masih berharap semua bisa menikmati sunrise dan aku bilang ke
Bibit, “Bit, naiknya jam 2 aja, aku gamau ketinggalan sunrise”. Bibit bilang,
“bisaaaaa”. Setelah tenda Agis jadi, aku langsung meminta slipping bag ke Bibit
dan ia memberikan yang tipis. Saat itu aku gak sadar dan gak peduli dengan
macam2 ketebalan slipping bag. Yang penting slipping bag dan aku masuk tenda paling
pertama, lalu tidur. Aku masuk ke dalam slipping bag, memakai syal, mengenakan jaket double
namun tetap saja aku kedinginan hingga menggigil. Saat itu, Ilham menawari ubi bakar.
Rasanya ingin sekali ikutan makan namun aku malas keluar. Disusul Agis yang
menawari minuman hangat, namun aku tidak peduli sama sekali. Aku hanya ingin
tidur. Hingga yang lain menyusul tidur, aku tidak juga bisa tidur karena
kedinginan. Rasanya slipping bag ku tidak berpengaruh namun aku tak pernah
kepikiran untuk meminta ganti saat itu. Sampai space tidurku sangat sempit dan aku
tidur miring, namun tak juga membuatku merasa hangat. Aku tidak bisa tidur
malam itu, namun tidak juga membuka mata. Aku mencoba memejamkan mata. Aku mendengarkan obrolan di luar namun aku
tidak mengingatnya. Aku rasa, aku setengah sadar dan keadaanku menggigil hingga bersuara terus menerus. Tidak ada yang peduli dan aku pun tahu semua orang sibuk dengan
urusannya masing2. Mereka pun pasti kedinginan. Memang seharusnya ceritaya sama
cowok karena pas di bawah diceritain ke mereka, mereka ngomel, “kenapa gak
bilang? Kan kita bisa tukeran slipping bag atau kamu make spilling bag double”.
“Wah, waktu itu aku ga kepikiran minta tolong kalian, orang akhwat aja yang
peka saat itu gak ngerespon jadi aku pikir di saat seperti itu, setiap orang
memikirkan urusannya masing2 dan aku harus mampu survive sendirian”. Dari cerita2ku, aku malah dikatain egois. "Lain kali jangan egois, kita harus saling mengerti. Cowok mengerti cewek dan kalau ada apa2, cewek jangan sungkan untuk bilang". Malam itu
aku merasa demam dan aku menyiapkan kata2 untuk tidak ikut naik ke puncak karena
keindahan sabana 1 sudah cukup mebuatku bersyukur dan aku pandang puncak
merbabu tidak terlalu tinggi lagi. Aku merasa, pemandangannya akan sama saja. Dari Sabana I saja sudah
cukup karena aku sudah bisa melihat Gunung Merapi persis di depanku, bukit
lampu kota, dan Gunung Lawu di seberangnya. Aku rasa aku sudah bisa menikmati
sunrise dengan sangat indah di sana. Memang selama di sana perasaanku sangat
labil. Kadang semangat tinggi, kadang down sangat rendah. Namun aku merasakan
pentingnya teman di sana.
Di saat2 aku setengah sadar,
antara tidur dan enggak, Agis membangunkan isi tenda kami. Yang dipanggil
adalah Indah. “Ndah, bangun ndah. Indah…” Aku mendengarkannya namun merasa
malas menyahutinya, toh yang disebut nama indah. Hingga ia mengulanginya
berkali2 dan menyenteri tenda kami, Indah yang tak kunjung bangun, dengan
berat (bukannya gak ikhlas tapi rasanya emang berat banget buat ngomong apalagi
bangun. Rasanya ingin bisa tidur sampai pagi, gak peduli yang lain ninggalin
aku) aku menjawab, “iyaaaaa”. Kemudian aku membangunkan Indah dan yang lainnya,
namun sulit sekali. Sampai aku mengusik mereka namun juga masih sulit. Dan
akhirnya Indah berhasil aku bangunkan terlebih dahulu. Sebenernya aku pengen
bilang, “kalian naik sana, aku mau di sini aja, aku demam. Aku mau tidur. Aku
jagain tenda aja dan aku menikmati sunrise dari sini aja. Di sini aku merasa
sudah ada di puncak kok”. Namun Indah minta ditemenin aku buat pipis dan saat
itu aku emang pengen pipis. “Tapi ndah, pipis di mana?” “Nyari teh, sini ikutin
Ndah”. Dan kami menemukan tempat yang tepat. Di sana aku mengungkapkan apa yang
aku bilang tadi ke Indah tapi Indah menyangkal. Aku tetep ngeyel dan mengancam,
“aku mau bilang mereka pokoknya, aku udah menyiapkan kata2 buat mereka
semaleman tadi”. Kata Indah, “aku juga udah menyiapkan kata2 buat mematahkan kata2
teteh”. “Indaaaahhhh. Pokoknya aku nggak mau Ndah...” >_< “Harus teh, kita tuh ke sini
bareng jadi harus sampai puncak bareng!”. Indah terlihat sangat memaksa hingga
aku gemes dan langsung menghampiri Agis. Sebelum aku bicara, Agis memberi kami
minum, “minum susu dulu nih”. Indah menuangkan untuk aku dan aku menolaknya,
aku masih gemes yang tadi, “gak! Aku gamau minum!” Entah kenapa childishku
muncul dan aku ngambek. “Minum teh, biar gak dingin!” Karena mendengar alasan
itu, aku mulai luluh untuk menerimanya karena memang aku kedinginan dan ingin ada obatnya. Namun
terlalu sedikit yang aku minum mungkin atau memang aturannya gak boleh minum
banyak2, aku tetap kedinginan. Agis dan Indah menyuruhku untuk bergerak. Aku
pun melakukannya di depan mereka. Sambil itu, aku mulai bilang ke Agis, “Agiiiis,
aku gamau naik ke puncak! Aku di sini ajah!” (sambil menggigil) “Loh kenapa
teh?” “aku kedinginan!” “Loncat2 teh, coba…” Aku pun loncat2 dan cukup
mendingan daripada diem meski tetep menggigil hingga bersuara, "grrrrrrr". “Tapi Giiiissss, aku
di sini ajaaaaa, yaaaa? Tendanya nanti di bawa ke atas gak?” “Gak kok” “Tuh kan, aku
jaga tenda aja, Gis...” “Kalau melakukan sesuatu tuh harus dikerjakan sampai tuntas
teh…” Sampai di sana #jleb. Entah kata2 Agis itu membuatku merasa gengsi. “Gis…”
dan rasanya alasan yang telah aku siapkan tadi malam semuanya menghilang dan
mendadak aku lupa. Ditambah Agis yang terlihat sedang kedinginan. Aku bertanya, "Agis kedinginan ya? Aku ada jaket double, mau?" Kali ini dia tidak bohong lagi, "iya nih, kayaknya gara2 semalem tidur di luar, gak pake slipping bag dan gak pake jaket". "Astaghfirullah Agis... Aku ambilin jaket ya?" "Iya deh". "Akhirnya nyerak juga...". Aku mengambil jaket untuk Agis dan sekaligus ikutan bangunin yang lain, “ayoooo, kalian
pada mau ke puncak gak?” Aku membangunkan tenda akhwat dan aku juga ikutan
membangunkan tenda ikhwan karena aku pikir jika yang membangunkan akhwat,
mereka akan lebih gengsi. Ternyata yang bangun cuma Dimas dan Angga. Bibit sama
sekali tidak bersuara dan Adam bilang, “nanti nyusul”. Entah kenapa aku labil
banget, sebenernya aku gamau naik tapi aku semangat bangunin mereka dan sempat
bertanya sama Agis, “ini jam berapa?” Ketika dia jawab, “setengah 4”, aku
merasa kecewa. “Katanya mau summit attack jam 2? Nanti gak dapet sunrise dong?”
Dan dari sanapun aku mengungkapkan alasan baru, “Gis, aku gausah ikutan ya,
nanti aku pasti memperlambat tim loh. Kalian gak akan bisa dapet sunrise gara2
aku jalannya lamaaaaa”. Kata Agis, “gapapa teh…” Ditambah Angga yang mulai beraksi,
“kak, kita tuh di sini tujuannya sampai di puncak, bukan sampai di puncak jam
berapa”. Dan aku tetap moving sambil berusaha menghilangkan rasa dingin. Aku membangunkan
akhwat2nya. Yang akhwat lebih lama bangunnya, hingga aku bilang, “kalian mau
ikutan muncak gak? Kalau gak ditinggal, itu udah ditungguin ikhwannya!”
Kemudian mereka bangun dan Meli pun ngambek, “kok aku gak dibangunin sih?”
“Udah Meli…. Dari tadi….” Mungkin mereka semua kecapekan karena hari sebelumnya
mereka backpackeran ke Jogja. Wajar jika hal itu terjadi. Berkumpullah kami
semua kecuali Adam dan Bibit. Setelah membangunkan mereka itu aku masih berniat
menyiapkan kata2 berikutnya untuk tidak ikutan muncak namun Agis keburu ngambil
alih dan bilang, "ntar pas jalan gak akan kedinginan lagi kok" kemudian langsung ngajakin do’a. Entah, aku merasa sangat terjebak. Dengan
setengah keyakinan, aku mengikuti perjalanan mereka. Benar2 dengan tidak full
keyakinan. Namun medan menuju sabana 2 cukup mudah karena landai turun. Dan
tidak terasa lama, kami sampai di sabana 2. Alhamdulillah, setiap sampai pos,
rasanya ada harapan baru. Dan tidak lama lagi sampai di sabana 3 namun saat itu
aku masih tidak percaya kalau itu sabana 3. Aku berpikir sabana 3 masih di atas
bukit tersebut. Dan bukit itu yang aku namakan sebagai 'bukit PHP' karena
ternyata di balik bukit itu masih ada bukit lagi. Saat mendaki bukit yang
pertama, aku bertanya pada tim lain yang sedang turun, “sabana 3 masih jauh
mas?” Ia menjawab, “sabana 3 yang itu tadi”. Kompak kami bilang,
“Alhamdulillah”. Tidak menyangka kami telah melakukan summit attack. Meskipun melewati bukit PHP itu.
Meli berada di depanku dan dia sering mengulurkan tangannya namun aku selalu berusaha menolaknya karena aku pengen lebih bisa sendiri, apalagi saat itu tanpa beban, meski melewati tebing. Aku menerima tangan Meli pada saat2 memang aku sangat membutuhkannya, saat melewati medan naik 90 derajat, benar2 membutuhkan bantuan. Sekitar setengah 5 aku menanyakan jam ke Agis lalu ia menawari, mau shalat di mana? Entah waktu itu kami kompak jawab, "di puncak" karena puncak terlihat sebentar lagi. Hingga jam 5, langit mulai memerah, belum juga kami sampai di puncak sehingga kami memutuskan untuk shalat di sana. Shalat di tebing sehingga kami tidak dapat berjama’ah, bahkan kami shalatnya sambil duduk. Pada saat shalat subuh tersebut, aku merasakan kekhusyukan hingga aku meneteskan air mata. Dalam do’a aku mengucapkan penuh kata syukur dan harapan perjalanan kami diridhai-Nya dan semakin mendekatkan kami dengan-Nya. Setelah itu kami melanjutkan pendakian hingga muncul sunrise. Kami berpoto2 di sana.
Cukup lama kami di puncak, hingga menyusullah Adam dan Bibit sekitar jam 7 pagi mereka sampai. Alhamdulillah, bibit membawa makananku yang aku masukkan ke dalam carier. Di sana juga ada silver queen putih dan beberapa biskuit. Kami pun makan bersama kemudian poto bareng. Hingga rasa dingin itu muncul kembali. Mungkin sudah sadar dari perasaan terlalu senang, sudah poto, sudah makan, akhirnya sadar kalau di sana dingin, aku pun meminta turun. Sebelum turun, kami salam ganesha terlebih dahulu.
Meli berada di depanku dan dia sering mengulurkan tangannya namun aku selalu berusaha menolaknya karena aku pengen lebih bisa sendiri, apalagi saat itu tanpa beban, meski melewati tebing. Aku menerima tangan Meli pada saat2 memang aku sangat membutuhkannya, saat melewati medan naik 90 derajat, benar2 membutuhkan bantuan. Sekitar setengah 5 aku menanyakan jam ke Agis lalu ia menawari, mau shalat di mana? Entah waktu itu kami kompak jawab, "di puncak" karena puncak terlihat sebentar lagi. Hingga jam 5, langit mulai memerah, belum juga kami sampai di puncak sehingga kami memutuskan untuk shalat di sana. Shalat di tebing sehingga kami tidak dapat berjama’ah, bahkan kami shalatnya sambil duduk. Pada saat shalat subuh tersebut, aku merasakan kekhusyukan hingga aku meneteskan air mata. Dalam do’a aku mengucapkan penuh kata syukur dan harapan perjalanan kami diridhai-Nya dan semakin mendekatkan kami dengan-Nya. Setelah itu kami melanjutkan pendakian hingga muncul sunrise. Kami berpoto2 di sana.
(kondisi shalat di tebing)
(sunrise pada saat summit attack)
Kemudian aku melihat, puncak, “kok masih jauh sih?” Di
sana Dimas bilang, “itu udah deket kok”. Selepas shalat subuh, orang yang ada
di dekatku adalah Dimas dan dia yang menggantikan Agis untuk memberikan kata2
positif untukku. Akhirnya yang sampai di puncak paling awal adalah Indah,
kemudian Dimas, dan kemudian disusul aku. Di sana kami sujud syukur. Saat itu
semua rasa lelah dan rasa dingin sirna (tidak terasa). Kami menikmati keindahan
Puncak Kentheng Songo, Gunung Merbabu 3145 mdpl. Subhanallah. Kami bisa melihat samudera
awan, Gunung Merapi yang terlihat berada di bawah kami, Gunung Lawu, Gunung
Sindoro, Gunung Sumbing, serta anak2 Gunung Merbabu yang banyak berada di bawah
puncak Kentheng Songo. Kami pun berpoto2 di sana. Kami sampai di puncak tepat pukul 6 pagi. Dan kami sadar kalau kami tidak membawa makanan. Namun tiba2 aku
mengeluarkan keripik pisang cokelat yang aku bawa dari Lampung, oleh2 backpacker. Hanya itu yang
aku bawa, padahal aku punya banyak malkist di carier. Kami semua merasa
kelaparan namun merasa mendapatkan berkah dengan sebungkus keripik itu. Lalu ada yang
mengeluarkan silver queen. Meski aku gak suka silver queen selain yang putih,
aku tetap ikut makan untuk menghangatkan badan.Cukup lama kami di puncak, hingga menyusullah Adam dan Bibit sekitar jam 7 pagi mereka sampai. Alhamdulillah, bibit membawa makananku yang aku masukkan ke dalam carier. Di sana juga ada silver queen putih dan beberapa biskuit. Kami pun makan bersama kemudian poto bareng. Hingga rasa dingin itu muncul kembali. Mungkin sudah sadar dari perasaan terlalu senang, sudah poto, sudah makan, akhirnya sadar kalau di sana dingin, aku pun meminta turun. Sebelum turun, kami salam ganesha terlebih dahulu.
(poto tim bersama bule dari England di puncak tertinggi Gunung Merbabu)
(poto tim tanpa Ilham dkk di puncak tertinggi Gunung Merbabu)
(Salam Ganesha di puncak tertinggi Gunung Merbabu)
Kemudian kami turun. Dan itu
perjalanan turunku yang benar2 perdana karena selama ini jika naik gunung, gak
pernah turun kecuali saat di Pangalengan, itu juga turunnya pake tangga yang rapih.
Apalagi Tangkuban Perahu, turunnya pakai mobil. Sedangkan saat itu aku merasa
takut dan aku turun dengan cara merosot dan sangat hati2. Meli, Bibit, Adam,
dan Agis sudah jauh sampai di depan. Aku pun takut jika aku ditinggal. Namun
selalu ada Dimas dan Angga yang setia menemani. Dan ternyata Indah kalau turun
juga lama. Sedangkan Asnin asik memakai HPku untuk mengambil poto2 pemandangan. Jadi kami
berlima turunnya lelet. Kemudian malah jadi sengaja, “gapapa kita lambat, biar
pas sampai di bawah, makanan sudah mateng dan kita tinggal makan”. Haha. Kami
malah poto2.
(perjalanan menuju Sabana I dari puncak)
Hingga Angga mengingatkan, "eh, ayo cepet kak, gaenak sama
mereka”. Aku berniat lari saat sampai sabana 3, namun ternyata tidak bisa. Dan
sampailah kami di sabana 1 (tempat ngecamp) sekitar jam 9. Nasi sudah matang,
sebagian lauk sudah jadi. Tinggal nunggu finishing. Karena keterbatasan alat sehingga
banyak yang gabut. Aku poto2in mereka, sebagian tiduran. Kemudian aku beres2
tenda, disusul Indah dan yang lainnya. Setelah makanan jadi, kami pun makan.
Hmmmm, melihat cara penyajian mereka, jadi inget ngeliwet di Himafi. Makanan
pun terasa nikmat dan Alhamdulillah tidak ada yang kekurangan, bahkan saat itu
ada yang berusaha keras menghabiskan sisanya. Kemudian kami beres2 dan mulai
turun sekitar jam 10. Aku khawatir sekali jika harus turun malam karena
merasakan kehororan tadi malam, namun mereka menjamin, sekitar jam 2 atau jam 3
sampai di bawah.
(kondisi saat memasak di Sabana I)
(chef Agis)
(chef Meli dan chef Agis)
(berlelah-lelah di Saban I)
(Adam dan Bibit mencoba menghabiskan makanan yang tersisa)
(Sabana I setelah tenda kami dibereskan dengan background bukit PHP menuju puncak Merbabu)
(Poto full team di Saban I sebelum turun)
Meli turun begitu lincahnya, dia lari. Disusul Agis. Dan
ternyata Ilham dkk dan Dimas sudah jauh di depannya. Sedangkan aku berada di
tim lelet (sweeper) yang disetiai oleh Angga, Bibit, dan Adam. Kami berenam sama Indah
dan Asnin. Setiap istirahat, kami ngobrol cukup lama, selain itu aku minta
beberapa kali berhenti untuk mengambil poto spot2 saat kami beristirahat tadi
malam dan track2 terjal. Namun gambar yang aku tangkap kurang baik karena
mengambilnya dari atas, jadi tidak terlihat ekstrimnya. Sepanjang perjalanan
kami juga bercerita tentang gunung2 yang lain. Dan saat itu aku sangat labil
untuk mengukiti summit pada malam berikutnya, yaitu ke puncak Merapi. Saat
melihat moncong puncaknya, aku merasa tertantang untuk menaikinya namun aku
merasa kakiku sudah sangat pegal dan tidak yakin untuk muncak, apalagi aku
belum tidur semaleman. Namun ketika istirahat lagi dan melihat track merapi
yang terlihat terjal bebatuan itu, aku sangat penasaran untuk ke sana, bahkan aku
sempat bilang ke mereka, “habis ini kita langsung naik sana aja yuk, gausah
pulang dulu, biar sekalian”. Namun tentunya tidak ada yang mengabulkan ide
gilaku tersebut.
(Pos III)
(perjalanan menuju pos II)
(tempat istirahat sempit kami untuk makan malam setelah melalui pos II, di sana terdapat bekas api unggun kami)
(pos II)
(jalur pos III menuju pos II)
(plang PHP saat menuju pos II di malam hari yang aku ceritakan di atas)
(Perjalanan menuju pos I)
(Pos I)
(pintu masuk jalur pendakian Gunung Merbabu)
Tim sweeper sampai di basecamp
sekitar pukul 3 sore. Di sana kami ke toilet dan istirahat sambil menunggu
mobil tiba. Setelah mobil tiba kami menuju rumah Adam dan sampai di sana sekitar
pukul 5 sore. Kemudian kami bebersih (mandi), shalat, dan makan masakan yang
telah disiapkan oleh ibunya Adam. Menurut jadwal, kami sampai di rumah Adam
kembali pukul 2 siang, kemudian istirahat dan pukul 5 sore menuju basecamp
Merapi untuk ngecamp di sana sampai jam 12 malam. Namun karena tim sweeper
mengalami keterlambatan, jadwal pun berubah. Lagian, tim tambahan yang mau naik
Merapi belum sampai di rumah Adam, sedangkan sebagian besar tim Merbabu tidak
akan mengikuti summit ke Merapi karena esoknya ingin jalan2 ke Jogja.
Semua tim Merbabu yang berniat
untuk summit ke Merapi mulai galau karena kecapekan dan jadwal yang telah
ngaret jauh sehingga tidak ada kendaraan sesuai planning kami. Di sana aku
galau karena berpikir mereka fix gagal summit ke Merapi, galau antara pulang ke
rumah nenek atau ikutan ke Jogja. Hingga tambahan tim tiba di rumah Adam (Azka,
dkk), kami bermusyawarah. Saat tim Jogja mulai pamit pulang, musyawarah pun
belum selesai sehingga aku tetap tinggal di rumah Adam bersama Indah, Asnin,
dan cowok2 yang lain. Indah dan Asnin memang tidak berniat ikutan summit ke
Merapi. Sedangkan aku cukup galau berat. Saat itu rasa keinginanku memang lebih
besar dari rasa lelahku namun aku sadar diri kalau aku belum tidur selama 2
hari 1 malam. Asnin dan Indah sudah masuk kamar terlebih dahulu namun aku masih
bersama yang lain untuk ngobrolin masalah itu. Saat itu sekitar ba’da isya’,
aku memutuskan untuk ikutan tim Jogja saja. Aku meminta Adam dan Bibit untuk
mengantarkanku ke Alfa Mart untuk memesan tiket kereta api menuju Bandung dari
Jogja karena tim Jogja sudah memesan tiket terlebih dahulu sebelumnya. Malam
itu aku banyak ngobrol sama mereka. Sekitar pukul 8 malam, Azka tiba bersama
teman2nya, kemudian teman2nya pergi lagi untuk mencari motor. Tim Azka telah
memutuskan langsung muncak ke Merapi tanpa ngecamp mulai pukul 12 malam dengan
mengendarai motor. Bibit pun mulai labil dan mencoba menghubungi Hasti dan Icha
yang katanya mau nyusul. Saat itu juga aku berpikir, kalau mereka nyusul, aku
ikutan summit ke Merapi apapun kondisinya, namun ternyata mereka batal nyusul
dan setelah dilobi2 tetap tidak mungkin. Saat itu Angga sedang sakit dan aku
berikan ia obat flu dengan dosis yang cukup tinggi (obat dari dokterku) hingga ia tertidur.
Namun saat ngobrol2, Angga belum tertidur. Aku hanya yakin kalau Angga tidak
akan ikutan summit ke Merapi karena sakit. Adam esok hari harus berangkat KP (Kerja Praktek) ke Semarang
sehingga juga tidak mungkin ikutan summit ke Merapi. Sedangkan Bibit galau dan terlihat lelah meski
masih sanggup dan menawarkanku “aku berangkat kalau kamu meminta untuk
berangkat”. Karena melihat lengahnya timku beserta kondisiku yang butuh
istirahat saat itu, maka aku putuskan untuk tidak ikutan. Meski tetap dengan
berat hati. Aku meminta oleh2 kepada Azka untuk mengambil gambar semua track
jalur Merapi dan puncaknya. Kemudian aku mengucapkan selamat jalan kepada
mereka dan aku masuk kamar sekitar pukul setengah 10 malam.
Di kamarpun aku tak bisa langsung bisa tidur meski yang lain sudah tidur. Sekitar pukul 10 malam Adam menelpon, nyuruh aku keluar (padahal cuma berbatasan dengan tembok, namuan mereka tidak berani mengetuk pintu kamar. Haha. Bagus lah, sopan). Ketika aku keluar, ternyata aku cuma disuruh minum susu dan makan kue. Sambil minum susu, aku ngobrol2 lagi sama mereka dan membuatku jadi semakin sedih karena sebentar lagi mereka ninggalin aku. Saat itu Angga telah tertidur dan aku semakin yakin kalau aku gak perlu ikutan juga karena fix Angga dan Adam tidak mungkin ikut.
Di kamarpun aku tak bisa langsung bisa tidur meski yang lain sudah tidur. Sekitar pukul 10 malam Adam menelpon, nyuruh aku keluar (padahal cuma berbatasan dengan tembok, namuan mereka tidak berani mengetuk pintu kamar. Haha. Bagus lah, sopan). Ketika aku keluar, ternyata aku cuma disuruh minum susu dan makan kue. Sambil minum susu, aku ngobrol2 lagi sama mereka dan membuatku jadi semakin sedih karena sebentar lagi mereka ninggalin aku. Saat itu Angga telah tertidur dan aku semakin yakin kalau aku gak perlu ikutan juga karena fix Angga dan Adam tidak mungkin ikut.
Sekitar pukul 11 aku masuk kamar
lagi dan tidak langsung bisa tidur. Entah, sepertinya itu jam 12an, aku
mendengarkan suara motor. Aku rasa itu motor mereka yang akan berangkat dan
setengah sadar aku sms mereka, “sedih banget mendengarkan suara motor
keberangkatan kalian” dan mereka menjawab, “kami hanya pergi untuk sementara”.
Setelah itu aku tertidur lelap. Pada pukul setenagh 4 aku bangun untuk
melaksanakan QL (shalat malam), aku bertanya kepada ibunya Adam, kebetulan
ibunya Adam telah / masih terjaga, “bu, mereka berangkat jam berapa?” Ibunya
Adam menjawab, “barusan tadi jam 3”. Spontan aku kaget, “apa?” Kok berangkatnya
barusan? Dan aku bertanya kembali, “yang berangkat 4 orang kan ya bu?”
(memastikan kalau Angga, Adam dan Bibit tidak ikutan). Namun ibunya Adam
bilang, “Mereka berenam”. Dan aku spontan kesel, aaaaaaaaa >_< mereka
ninggalin akuuuuuuu >_< kemudian aku curhat ke ibunya Adam, “Mereka
berenam bu? Yaaaahhhhh, kok saya ditinggalin bu? Tau mereka berangkat jam 3,
saya ikutan, kan saya udah cukup tidur itu bu…” Huhuhu. Ditambah ibunya Adam
cerita kalau mereka minta dibangunin jam 1 tapi akhirnya berangkat jam 3 karena
tertidur pulas. Kyaaaa, jadi mereka sempet tidur, mana tidur di kasur pula.
>_< Jadi suara motor yang aku dengar tadi malam itu suara motor yang baru
dateng dan mereka semua sempat tidur! Langsung aku sms mereka, “kalian
jahaaattttt. Ninggalin akuuuu. Tau kalian berangkat jam 3, aku ikutan. Nyebeliiiinnnn
>_<” dan aku tau hape mereka pasti offline karena tidak mendapatkan sinyal. Aku
pun melanjutkan kehidupanku saat itu. Shalat subuh, bantuin masak, sarapan, repacking,
kemudian berangkat ke Jogja. Jadi, kali itu rencana double summitku gagal hanya
karena ditinggal. Dan aku masih sangat ingin menaiki gunung Merapi. Sampai saat
ini, puncak gunung Merapi dan jalur track nya yang menarik dan menantang ketika
aku lihat dari gunung Merbabu masih terbanyang2.
Pengalaman pertamaku mendaki gunung membuatku semangat untuk mengikuti pendakian2 berikutnya. Kini, aku tak ragu lagi untuk mengikuti double summit ke Sindoro-Sumbing setelah lebaran nanti meskipun berdasarkan cerita mereka, Sindoro-sumbing itu horor, mistis dan tracknya lebih sulit daripada Merbabu. Yang ada di benakku saat ini, “jangan pernah gagal lagi mengikuti double summit dan pendakian ke gunung2 yang lebih tinggi”.
Salam pecinta alam! <3
(^_^)v
Pengalaman pertamaku mendaki gunung membuatku semangat untuk mengikuti pendakian2 berikutnya. Kini, aku tak ragu lagi untuk mengikuti double summit ke Sindoro-Sumbing setelah lebaran nanti meskipun berdasarkan cerita mereka, Sindoro-sumbing itu horor, mistis dan tracknya lebih sulit daripada Merbabu. Yang ada di benakku saat ini, “jangan pernah gagal lagi mengikuti double summit dan pendakian ke gunung2 yang lebih tinggi”.
Salam pecinta alam! <3
(^_^)v