About me

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Instagram: @dewikusumapratiwi Facebook: https://www.facebook.com/dewi.kusumapratiwi

Kamis, 22 Agustus 2013

Catatan Pendakian Gunung Merapi 2950 mdpl

Kali ini aku tidak akan bercerita tentang mereka secara personal seperti tulisanku sebelumnya:
Mungkin, ceritaku ini bisa menggambarkan tentang mereka.

Kenapa pilih Merapi?
Berawal dari double summit Merbabu - Merapi yang gagal pada tanggal 6-8 Juli 2013. Saat itu aku hanya berhasil sampai di puncak Merbabu (3145 mdpl) saja pada tanggal 6-7 Juli 2013. Sejak ada di track Merbabu, aku ingin sekali mendaki Gunung Merapi karena track Merapi yang terlihat dari Merbabu sangat menantang. Ditambah dengan melihat video testimoni dari tim Merapi (Azka, dkk) yang membuatku semakin penasaran dan harus banget naik Merapi. Katanya, track Merapi menguras energi, perasaan, dan mental banget. Katanya, track Merapi adalah track tersulit dari puluhan gunung yang pernah mereka daki. Dan, semua itu harus aku buktikan.
Kemudian aku berwacana bersama Adam yang rumahnya dekat dengan Merapi (yang rumahnya selalu menjadi homebase perjalanan Merapi-Merbabu kami) namun seumur hidupnya sampai saat itu belum pernah naik Merapi. Alhamdulillah, wacana itu terealisasikan pada tanggal 16 Agustus 2013.

Kisah sebelum sampai homebase
Kondisinya saat itu aku sedang mudik ke Boyolali (dekat dengan Klaten, rumah Adam), jadi aku standbay di sana menunggu kedatangan teman-teman yang lain dari Bandung. Dari wacana dan persiapan, timnya ada aku, Ridwan (adhek aku --> meski aku cewek sendiri di tim, tapi alhamdulillah tetep ada mahram), Adam, Arbi, dan Ugun. Adam sudah standbay di rumahnya, sedangkan Arbi dan Ugun naik kereta bisnis Bandung-Klaten hanya dengan 60ribu rupiah (promo lebaran melawan arus balik --> sedangkan saat aku hendak memesan tiket buat adhekku, harga tiket Solo-Jakarta saat itu mencapai 800ribu karena masih dalam kondisi lebaran).
Arbi dan Ugun berangkat dari Bandung tanggal 5 juli 2013 malam. Sewajarnya, kami memantau perjalanan mereka. Dengan alur maju, aku akan menceritakan tentang perjalanan mereka berdua. Pada tanggal 6 Juli 2013 pagi, kami bertanya tentang keberadaan mereka. Terakhir dari yang gak perlu diceritakan, mereka sudah sampai stasiun menuju terminal Penggung, Klaten. Saat itu, Adam (yang punya rumah) tidak dapat dihubungi karena sedang ngecamp di Pantai. Katanya mau ngirim nomor ayahnya ke Arbi namun tidak sampai juga. Kemudian aku mencari-cari nomor ibunya Adam karena sebelumnya aku pernah menginap di rumahnya setelah summit attack Merbabu. Setauku yang paling dekat dengan ibunya Adam adalah Indah, maka aku menghubunginya. Namun nihil, Indah tidak dapat ditelepon, di sms juga gak dibales. Aku juga berkali-kali telepon Adam membantu mereka meski kutahu itu perbuatan sia-sia. Aku mencoba bertanya kepada para anggota tim Merbabu tentang nama ibu atau bapaknya Adam dan nomornya, tapi nihil juga. Kondisinya cukup panik, namun dengan gaya Arbi yang santai itu, dia berkata "gapapa Dew, nanti ngapain dulu kek di terminal sambil nungguin Adam bisa dihubungi". NO, kataku. Karena aku tahu pasti mereka berdua capek banget habis perjalanan Bandung-Klaten, apalagi Arbi habis banyak agenda sebelum berangkat ke Klaten. Aku mencoba memberikan arah karena seingatku, jalan ke rumah Adam itu mudah, asalkan sudah menemui terminal Penggung. Kupastikan mereka benar2 sampai di terminal Penggung, lalu aku memberikan arah.
Nah, rute setelah terminal Penggung itu adalah SMAN 1 Karanganom. Namun saat itu aku lupa dengan nama Karanganom. Aku sangat yakin itu adalah SMA dan angkanya 1 karena Adam pernah cerita kalau dia sekolah di SMA itu, namun aku lupa dengan kata "Karanganom" nya. Dan dengan samar-samar aku juga mengingat kalau samping SMA itu ada SMP. Untuk meyakinkan ingatanku, aku telepon Bibit dan bertanya nama sekolah yang ada di dekat rumah Adam tersebut. Saat itu Bibit menjawab, "santai, bisa lah dicari dengan GPS".
GPS, adalah satu kata yang membuatku sangat tsiqah tanpa perlu berdebat soal keraguanku. Tak lama, Bibit ngewhatsapp "SMP 2 Karanganom, Dew". Langsung saja whatsapp Bibit aku forward ke Arbi. Kemudian aku menjelaskan bahwa di depan SMP itu agak ke kanan, ada gang, agak ke kanan lagi, ada Alfa Mart (karena dulu aku pernah belanja di sana), dan aku mengirim foto depan rumah Adam (dulu aku ambil secara iseng dan alhamdulillah terpakai). Kurasa penjelasan itu cukup untuk membantu pencarian mereka terhadap rumah Adam.
Namun ternyata Arbi dan Ugun mengirim poto yang terlihat asing bagiku.
Memang sih, itu benar SMP 2 Karanganom, tapi sebelumnya aku tidak pernah melihatnya. Kemudian aku meminta gambar depan sekolah itu dan mereka mengirim:
Sejenak aku kaget, "hah? kok sawah sih?" Dan pikiranku mulai sadar dengan ketsiqahanku yang salah pada Bibit. Kupastikan lagi ke Bibit, aku menyangkal ke Bibit kalau sekolah itu pasti namanya bukan SMP2, melainkan SMP 1 karena sebelumnya aku telah menduga demikian dan menurut logika, Adam pasti sekolah di sekolah favourite #eh (ada lah penjelasannya, tapi gak perlu dijelasin di sini lah). Namun, dengan yakin Bibit masih bilang, "gak ah, aku yakin SMP 2" -_-
Meski aku masih belum bisa yakin kalau Bibit salah, tapi sejenak aku berlepas diri dari Bibit dan aku menelpon Arbi kembali. Arbi pun berkata kalau dia akan mencari gang yang aku maksud lewat belakang SMP itu. Sejenak kupikir ada bolehnya juga karena barangkali jalan yang pernah aku lewati itu ternyata bagian belakang SMPnya. Kemudian mereka mengirim poto suatu gang daaaaannnnnnn gang itu gak pernah aku lihat. Dan aku berani memastikan kalau mereka salah. Bukan SMP 2, tapi SMP 1.
Aku meminta mereka mencari SMP 1 saja dan aku bertanya kepada mereka, tadi ke sana naik apa? Kata mereka naik ojek dan di sana gak ada kendaraan. Lalu mereka mencari SMP 1 itu dengan jalan kaki. WOW, bisa kubayangkan, betapa kasiannya mereka. Aku pun cerita pada tante dan orang-orang di rumah. Lalu malah aku yang disalahkan. Kata tanteku, "kalau aku jadi mereka, aku bakal balik lagi ke stasiun terus pulang ke Bandung. Ini temen2nya kok pada gak bertanggung jawab gini sih? Kasian banget itu temennya luntang-lantung di Klaten dari perjalanan jauh". Kyaaaaa T_T (meleleh). "Kenapa gak tadi suruh ke sini aja ntar dijemput di jalan raya?", lanjut tanteku. Kenapa tadi aku gak nyuruh mereka ke rumah nenekku karena kupikir rumah Adam lebih dekat dan mudah dicari. Aku juga gak pernah kepikiran kalau mereka bakal kesasar dan bahkan gak pernah sengaja untuk memberikan info yang salah ke mereka. T_T Saat itu aku sangat merasa bersalah. Kubilang, "Mereka berhati malaikat", apalagi Arbi, dia tidak menunjukkan kelelahannya selama di telepon, dia juga gak membuatku merasa bersalah. Namun perkataan tanteku memang menyadarkanku dan membuatku merasa bersalah. "Kyaaaa, maafkan aku, Arbi, Ugun. Harusnya kalian tadi ke rumah nenekku aja, ntar aku jemput deh di jalan Solo-Semarang". Kemudian aku ngewhatsapp mereka lagi dan berkata, "kalau gak ketemu juga, kalian naik bus ke Solo aja, ntar aku jemput". Tidak ada respon. Aku telepon juga tidak diangkat lagi. Kemudian tiba-tiba Ugun ngewhatsapp mengabarkan kalau mereka sudah sampai. Dan saat itu juga aku lega.
Tak lama kemudian Arbi menjarkom kami (maybe aku, Adam, Bibit) dan berkata makasih udah kompak ngasih info yang salah. T_T (makin merasa bersalah), tapi seperti gaya Arbi biasanya, dia ngewhatsapp panjang dengan gaya sanguinisnya, dan kutahu dia bukan type orang yang mudah marah. Kemudian aku suruh mereka istirahat. (Fyi: kenapa aku lebih sering menceritakan Arbi karena saat itu aku belum terlalu mengenal Ugun, sedangkan Arbi adalah teman lamaku).
Siangnya Adam sms, yang tandanya dia sudah dapat sinyal. Adam bilang sampai rumah sekitar pukul 3. WOW. Bisa dibayangkan kalau Arbi dan Ugun menunggunya di terminal, mau ngapain mereka dari pagi sampai jam 3 sore gitu? Mana itu terminal terbuka, tempat duduknya ada di samping jalan banget, berdebu, polusi, gak ada tempat tidur.
Sorenya, aku nyusul ke rumah Adam bersama Ridwan, adhekku, naik motor. Sampai di rumah Adam maghrib. Semua cowok shalat di masjid, sedangkan aku dan ibunya Adam shalat di rumah karena sambil jagain banyak motor yang berjajar di depan rumahnya. Saat itu ada kabar surprise bagiku ^_^ Ternyata Bibit ikutan dan saat maghrib itu dia sudah sampai Jogja. Yeeeee, akhirnya summitku kali ini ditemani Bibit lagi :-3 Bibit yang pernah aku ceritakan sebelumnya, namun ternyata, tidak semua yang aku ceritakan itu benar. (Hehe, peace Bit ^_^v). Kemudian kami makan malam bersama dan ngobrol-ngobrol.
Ternyata, tadi pagi ayahnya Adam menjemput mereka dari pukul setengah 5 pagi di stasiun (jadwal tiba kereta mereka pukul setengah 6 pagi). Kemarin, sebelum berangkat ke pantai, Adam bilang mau ngasih nomor ayahnya ke Arbi dan ngasih nomor Arbi ke ayahnya. Namun entah kenapa (mungkin karena gak dapet sinyal), gak ada satupun nomor yang dikirim ke mereka oleh Adam. Kondisinya random banget. Ayah dan adhiknya Adam menunggu mereka berdua di stasiun selama 3 jam dalam keadaan tidak tahu nomor mereka dan tidak tahu mereka naik kereta apa. Yang ayahnya Adam tahu hanyalah "mereka berduaan dan yang satu memakai kacamata". Yo'i banget kan? Orang yang pake kacamata kan banyakkkkk. -_- Ayahnya Adam berpikir, pasti mereka bawa carier lah, tapi kereta yang tiba kan bermacam2 dan beliau tidak tahu mereka naik kereta apa. Ayah dan adhiknya Adam hanya menunggu karena beliau pikir, Arbi sudah menyimpan nomor ayahnya Adam. Namun setelah 3 jam menunggu, ayahnya Adam mengajak adhinya Adam pulang karena sudah lapar dan hendak sarapan dulu serta berencana kembali jika sudah ada yang menghubungi beliau. Beberapa waktu setelah sampai di rumah, Arbi dan Ugun pun menyusul tiba di rumah. Arbi dan Ugun berhasil menemui rumahnya Adam dengan petunjuk yang aku berikan tadi, masuk rumah dengan ciri2 ini. Hehe.
(Tampak depan rumah Adam)

Persiapan Menuju Merapi
Tak terasa, kami ngobrol-ngobrol sampai pukul 9 malam, aku mengajak mereka belanja ke Alfa Mart karena memang spek kami belum lengkap (makanan dan air minum). Namun masih saja mereka berputar-putar (ada yang ngantri mandi lah, ada yang mager lah), hingga pukul setengah 10 malam aku menegaskan kalau jam 10 Alfa Mart tutup, lalu kami pun berangkat belanja. Setelah belanja aku menyeduh susu dan kami pun minum susu bersama sambil packing. Kemudian setengah 11 mereka menyuruhku tidur karena mereka sudah cukup tidur siangnya. Siangnya aku memang belum tidur (biasa, euforia sebelum perjalanan biasanya susah tidur), maka akupun masuk kamar. Di sana ternyata aku juga tak kunjung bisa langsung tidur. Aku mendengarikan suara berisik di luar. Pukul 11 malam, Ridwan masuk kamar ngambil sesuatu dan saat itu aku belum bisa tidur juga. Aku bertanya tentang suara itu. Kata Ridwan, Arbi sedang membuat topeng, namun entah kenapa seberisik itu. Kemudian aku mencoba lagi untuk menidurkan diri. Hingga tiba-tiba Ridwan masuk kamar lagi dan membangunkanku. Kulihat jam di HP ku terbaca pukul 00:04. Kutahu harusnya saat itu juga kami berangkat namun badanku masih terasa berat. Dengan terpaksa aku menuju kamar tamu, tempat mereka berkumpul. Kulihat Ugun masih tidur di ruang tengah, dan ketika masuk ruang tamu, hanya Ridwan dan Bibit saja yang masih terjaga. Aku lihat, Arbi tidur di bawah kolong meja, lalu aku berkata dengan kondisi masih setengah sadar, "Hmmm, masih tidur juga", kemudian aku masuk kamar lagi dan terlungkup. Bibit langsung teriak, "terus kalau Arbi masih tidur kamu mau tidur lagi?" Badanku masih mau dimanjakan dengan kasur namun aku tahu kalau demikian maka rencana sunrise di puncak Merapi bakal gagal. Meski kutahu itu udah telat banget, tapi aku tetep ke kamar mandi buat cuci muka, gosok gigi, dan wudhu. Aku masih menyempatkan diri untuk QL, padahal barang-barangku belum masuk daypack semua. Setelah aku selesai shalat, ternyata mereka sudah siap dan aku pun memasukkan barang-barangku dengan buru-buru. Kemudian kami berangkat, entah jam berapa itu.

Perjalanan dari Homebase ke Basecamp Merapi
Jumat, 16 Agustus 2013, dini hari, kami berenam naik motor dan berboncengan. Kami membawa 2 carier dan 1 daypack karena kami tidak berencana ngecamp. Malam itu cukup dingin, perjalanan ke basecamp lumayan berat, apalagi bagi pengendaranya. Awalnya Ridwan sempat takut, namun sepertinya mereka telah berhasil meyakinkan Ridwan sehingga dia berani mengemudi motor pada malam itu menuju basecamp Merapi. Kami berdua sengaja meminta untuk selalu berada di tengah, namun di beberapa titik kami tertinggal karena Ridwan belum terlalu lincah mengganti gigi motor saat berada di jalanan yang sangat nanjak bertikung di kaki gunung Merapi. Kecepatan kami cukup tinggi karena kedinginan dan mengejar waktu juga. Namun semakin ke atas, kami semakin berhati-hati. Keadaan semakin mencekat, jalan tertutup kabut yang cukup tebal. Ridwan sempat bilang, "dzikir mbak". Kadang teringat akan cerita-cerita tentang Merapi tapi semua kulupakan dengan dzikir. Dan akhirnya, alhamdulillah kami sampai basecamp dengan selamat.  

Pendakian dari Basecamp Merapi ke Pasar Bubrah
Sampai di basecamp Merapi, sekitar pukul 2 dini hari. Kami mendaftarkan diri di loket pendaftaran, kemudian melakukan pemanasan yang dipimpin oleh Arbi. Saat itu, ada pemanasan yang kurang, yaitu bagian pergelangan tangan. Aku pun lupa. Setelah pemanasan, kami mulai berjalan ke atas menuju pos 'New Selo'. Ohya, saat itu, di antara kami tidak ada yang mengetahui nama pos-pos Merapi. Tujuan pertama yang kami ketahui di awal adalah pasar bubrah, padahal pasar bubrah itu daerah yang sudah sangat dekat dengan puncak. Namun di sini aku ingin menamai sendiri pos-pos yang kami lewati.
Menuju 'New Selo' hanya sekitar 10 menit dengan kondisi jalan beraspal (bisa pakai mobil, namun kami jalan kaki karena motor kami tinggal di basecamp). Kami bertemu dengan bule sekeluarga gitu bersama porternya. Ada anjing juga. Haha, gak penting.
Di 'New Selo' kami masak air untuk mebuat minuman hangat. Saat itu, yang aku keluarkan adalah minuman jahe. Aku hanya membawa 2 bungkus dan ternyata kurang untuk air yang sudah kami masak (padahal tidak ada seperempat misting), kemudian kami tambahkan energen. Kebetulan energen yang aku bawa rasa jahe juga. Kami menikmatinya bersama.
Setelah merasa cukup energi, kami mulai berjalan kembali. Jalanan Merapi nanjak terus, beda banget sama Merbabu. Lebih sulit, namun saat itu aku merasa lebih tenang dalam menjalaninya, dibandingkan summit perdanaku di Merbabu.
Ketua tim (yang aku sebut sebagai kapten) kami adalah Arbi. Seperti biasanya, aku selalu ada di belakang kapten. Belakangku ada Ugun, kemudian Ridwan, dan paling belakang ada Bibit dan Adam. Saat itu, Ridwan perdana summit attack, langsung minta bawa carier. Niatnya sih masih belum lurus (emang gak pernah lurus kali ya? haha), buat gaya-gayaan. Namun belum ada seperempat jalan, dia udah kelelahan karena headlamp dia juga gak bisa dipake.
Arbi adalah kapten yang cukup konsisten saat itu, yang membuat kami berjalan tanpa berhenti setiap 20 menit dengan waktu istirahat +- 1 menit. Dua kali istirahat konsisten. Kemudian belum sampai 20 menit lagi, kami menemui gapura. aku menamakan sebagai pos 'gerbang masuk'. Saat itu aku merasa lapar dan aku meminta makanan. Malkist. Hanya aku yang makan. Entah, kenapa aku lemah sendiri, padahal energi awal mendekati sama (kami makan bareng-bareng, minum susu bareng-bareng  minum energen bareng-bareng meski porsiku memang lebih kecil tentunya). Namun selama di Merapi aku lebih jarang meminta minum karena kutahu persediaan minum kami hanya 4 botol untuk berenam selam pendakian hingga turun kembali.
Kami mulai berjalan lagi dan perjalanan kami terhitung lancar meski semakin ke atas, kekonsistenan kami semakin memudar. Akupun hampir tidak pernah meminta istirahat. Hanya saja, sesekali aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Arbi mengajarkanku cara jalan efektif, "melangkah setiap detik Dew, tap, tap, tap" (sambil memperagakan teorinya). Aku pun mengikutinya. Hingga adzhan subuh tiba, kami istirahat di suatu tempat yang agak lapang. Kami shalat subuh berjama'ah dengan imam, Adam. Saat itu aku tidak shalat dengan khusyuk, apalagi sampai menangis seperti saat di Merbabu yang sat itu, shalat menjadi momen terindah di perjalanan kami. Hal itu terjadi padaku karena ada perasaan was-was, huhu. Aku jama'ah akhwat yang ada di belakang sendirian, di tengah kegelapan, malah jadi ngebayangin cerita-cerita horor Merapi (parah emang). Namun kubalas dengan do'a yang kupaksa khusyuk. Seenggaknya kontakku dengan Allah gak blank banget.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan lalu kami bertemu dengan sunrise. Entah saat itu, aku gak terlalu pengen sunrise di puncak karena itu bakal jadi harkos banget. Sunrise di track tersebut sudah terasa cukup indah karena merupakan sunrise terbersih dari yang pernah kulihat. Aku juga bisa memandangi Gunung Merbabu yang menyimpan kenangan dalam di saat summit attack perdanaku. ^_^
(sunrise (terbersih) di track pendakian)
(istirahat terakhir sebelum sampai di pasar bubrah)
Setelah menikmati sunrise, aku mendahului kapten Arbi bersama Ugun. Ridwan pun aku tinggal karena aku percaya mereka bakal menunggunya. Mungkin aku memang egois, maunya jadi yang paling duluan tanpa melihat kondisi yang lain, namun kurasa mereka tidak mempermasalahkan itu karena mereka cowok semua. Jalur track Merapi sangat jelas, hari pun juga sudah terang sehingga aku tidak takut lagi untuk menjadi tim advance. Aku berada di paling depan. Hingga kami tiba di pasar bubrah, kami beristirahat dan bersyukur, mengeluarkan perbekalan dan sarapan, kemudian berpoto2.

Di Pasar Bubrah
(track menuju pasar bubrah)
(pintu pasar bubrah)
(masak air panas dan energen untuk toping roti tawar)
 
(kami bernama tim MERAhPI (dari kiri: Arbi, aku, Bibit, Ridwan, Ugun) --> lokasi di pasar bubrah, membelakangi puncak garuda Gunung Merapi)
 (tim MERAhPI berubah menjadi power ranger --> ide dan kerjaan sang kapten)
Pada saat membuat sarapan, kami ngobrol dengan pendaki bule yang berasal dari Hongkong. Kami menawari mereka ikutan sarapan namun mereka tidak mau. Mereka berdua (cewek dan cowok) sedang menunggu temannya turun dari puncak karena mereka tidak ikutan ke puncak. Sambil sarapan, kami ngobrol dengan mereka, juga sembari menyaksikan aksi teman-temannya yang turun dari puncak. Saat menuruni pasir, mereka lari dan ada yang terjatuh, terguling ke depan. Tentunya kami menertawakannya, kemudian ada rasa iba juga. Yang jatuh itu berhenti cukup lama dan ditolong oleh porternya. Aksi merekalah yang semakin membuatku semakin semangat naik ke puncak karena aku ingin merasakan serunya turun di track pasir. Aaat itu, entah, aku tidak merasa lelah sedikitpun.
Setelah kami berpoto (kami berpoto dengan kamera timer karena bulenya lagi sibuk nyambut temennya), mereka meminta kami untuk mempoto mereka. Dan topeng ranger kami (buatan Arbi yang awalnya sempat terasa alay, tapi kami tidak peduli) itu, ternyata mengundang daya tarik mereka. Merekapun meminjam topeng kami untuk meminta dipoto juga. Haha.
(aksi pendaki dari Hongkong mengenakan topeng ranger kami)

Kemudian kami berpoto bersama mereka dan sempat bertukar email dan account fb.

Summit Attack Puncak Garuda
Setelah puas dan cukup lama berpoto ria (karena mengatur posisi HP dan timernya cukup memakan waktu), Arbi bilang, "sampai di sini aja yuk, mager banget nih ke puncak". Bibit pun mengimbuhi, "iya, sampai di sini aja yuk, lain kali ke sini lagi". What? NO. Memang, rencana kami adalah sunrise di Pasar Bubrah dan mulai naik puncak jam 6 pagi sehingga sampai puncak jam 7, kemudian turun setangah 8 karena khawatir arah angin berbalik ke arah kami sehingga asap kawah Merapi dapat mengenai kami. Sedangkan saat itu (ketika kami di pasar bubrah) sudah sekitar pukul 8. Namun melihat puncak Merapi yang tenang, aku sangat berontak. "Masa' perjalananku tadi malem yang melewati track yang naik terus itu sia-sia gak sekalian sampai puncak? T_T Gak banget, aku harus sampai puncak!" Dan saat itupun gak ada alasanku untuk menyerah karena sama sekali aku gak capek. Kemudian aku bilang ke mereka, "yaudah, kalian tunggu di sini aja, aku mau naik sama Ugun". Kutahu saat itu Ugun masih mau naik ke puncak. Sedangkan Ridwan dan Arbi memang sudah terlihat loyo. Kupikir saat itu karena carier Arbi yang paling berat. Arbi memang terlihat kelelahan dan pusing.
Kata Bibit sih aku egois. Tapi saat itu aku gak pernah berpikir egois karena naik Merapi tuh cobaannya lumayan banyak. Minta izinnya susah, berita miringnya banyak, dan saat itu banyak banget yang menghalangi aku (baik dari keluarga besar maupun teman-teman), bahkan H-1 banyak yang sms dan ngewhatsapp aku, mereka melarangku untuk naik Merapi. Udah gitu, malemnya aku melewati track yang nanjak, terjal, dan berbatuan. Jadi aku harus banget menyelesaikan perjalananku itu. Aku juga gak merasa egois karena aku mempersilakan mereka istirahat di pasar bubrah dan aku hanya mengambil Bibit untuk aku jadikan teman perjalananku karena kutahu bibit adalah orang yang paling strong. Tak lupa, aku juga mengingatkan Ridwan, "kalau gak kuat jangan maksain diri".
Setelah pamit sama mereka, aku naik. Aku ada di paling depan, sengaja mencari jalan yang kupandang tercepat, yaitu jalan yang arahnya lurus ke puncak. Tiba-tiba kulihat Bibit dan Ugun yang mendahuluiku dari samping menjauhi trackku. Aku diteriakin mereka, "Dew, jangan lewat sana! Bahaya!" Namun aku hiraukan mereka karena aku pengen cepat sampai. Tiba-tiba, semakin ke atas, batu-batuannya semakin tinggi dan sulit didaki. Sehingga aku mencoba pindah track. Pindah track itu adalah pekerjaan yang sangat tidak mudah, namun aku melakukannya secara perlahan. Rasa lelah dan rasa takutku masih kalah dengan kekuatan keinginanku. Tidak ada kata menyerah saat itu. Hingga aku melewati jalan berpasir. Itu jalan yang aku nantikan. Aku pikir seperti yang mereka bilang di Semeru, tapi ternyata pasirnya kering, kasar dan berbatu sehingga kata mereka memang lebih sulit dari dari daerah summit attack Semeru. Kadang-kadang aku bisa maju sedikit-sedikit. Maju satu langkah, mundur setengah langkah. Kadang-kadang bisa maju 2 langkah, mundur hanya setengah langkah. Pernah juga maju selangkah, mundur lagi 3 langkah. Tracknya menguras energi dan perasaan. Satu kata untu track itu, "ngeselin". Tadinya pengen nangis tapi karena di belakangku masih ada tim lemah jadi membuatku lebih merasa kuat dan aku harus bisa. Saat itu aku masih berpisah dari mereka karena mereka melewati jalan yang muter, namun enak untuk dilewati (berbatuan). Meski berada di track yang berbeda dan aku seakan-akan berjuang sendirian, namun ternyata mereka selalu mengawasiku. Tiba-tiba Bibit meneriaki aku, "Dew, lewat sini aja..." Wow, Bibit cepet banget lah, tiba-tiba udah di samping kiri jauh dan lebih di atasku. Akupun mencoba pindah track. Kulihat ke bawah sejenak, Ridwan ada di paling belakang bersama Arbi. Mereka berdua lebih sering beristirahat dan jalan pelan-pelan. Sedangkan aku tetap sibuk dengan diriku sendiri.

Pengalaman Terheboh
Aku masih berjalan jauh ke kiri untuk pindah track. Hingga aku berada di track yang menyerupai batu padat dengan sampingnya gundukan sesuatu yang menyerupai batu padat juga. Ternyata yang aku pijak adalah pasir. Aku terperosot, lalu jongkok dan berpegangan pada gundukan itu. Ketika aku mencoba bangkit, ternyata gundukan itu adalah pasir juga, jadi tidak ada pegangan sama sekali dan aku tidak dapat bergerak karena jika aku bergerak maka aku akan terpeleset ke bawah menuju jurang. Aku berteriak meminta tolong pada mereka. Tentunya tidak ada yang berani mendekati aku karena jika kita menaiki track itu, bisa dipastikan akan terperosok mundur ke arah jurang (licin sekali). Kemudian ada Adam yang berposisi menangkapku dari bawah, berjaga jika aku terpeleset ke bawah. Dibantu juga oleh Ugun yang berada di samping Adam yang mengikuti arah gerakku. Meski mereka bersiaga menangkapku, tapi aku berusaha untuk tidak menjatuhkan diri ke arah mereka. Dapat diprediksi, jika aku jatuh ke arah mereka, pasti mereka akan ikut terbawa jatuh ke arah jurang juga bersamaku karena jarakku dengan mereka cukup jauh dan tekanan yan aku berikan pasti besar sehingga mereka tidak sanggup menahanku. Saat itu aku merasa cukup takut. Namun, aku diarahkan oleh Adam untuk bergerak maju pelan-pelan sambil miring ke kiri. Aku beranikan diri untuk berdiri dan bergerak sedikit demi sedikit. Pelan-pelan sekali, hingga akhirnya aku sampai pada mereka. Alhamdulillah. Kemudian aku berada di track bersama mereka.

Tidak berarti track itu sudah aman. Kami memasuki track batu terjal yang rapuh. Entah itu berapa derajat, perkiraanku lebih dari 70 atau bahkan 80 derajat soalnya ketika melihat ke atas seakan2 kita harus siap ditimpa oleh batu di atas kita. Kami melewatinya harus dengan merangkak namun penuh kehati-hatian karena batu-batunya rapuh dan mudah menggelinding ke bawah. Cukup lama kami melewati track seperti itu. Hingga akhirnya kami sampai pada puncak. Akhirnya aku melihat kawah Merapi yang cukup dalam dan menyeramkan itu.
(daerah summit attack Merapi setelah track pasir (saat melewati pasir tidak berani mendokumentasikan karena untuk konsentrasi jalan saja sudah sangat sulit). Poto yang paling bawah itu track saat mendekati puncak, batuan yang semakin berkurang itu mengakibatkan track semakin licin dan sulit)
(kawah Gunung Merapi)
Di Kawasan Puncak
Daerah puncak tersebut sangat sempit sehingga kami tidak berpikir untuk poto-poto di sana. Aku pun tidak poto-poto narsis. Tempat duduknya sangat sempit dan licin. Bahkan, duduk pun harus pegangan karena kalau tidak, bisa merosot ke bawah.
Meski demikian kondisinya, aku masih sempat membuat video bareng Bibit untuk membalas testimoni tim Merapi yang bareng Azka tanggal 8 Juli 2013 lalu.
(Proses pembuatan video di kawasan Puncak Gunung Merapi)
(Posisi mereka istirahat dengan diganjal batu)
Mereka sudah menyerah sampai di sana (sayap kiri puncak garuda), namun aku masih sangat semangat untuk bisa mencapai puncak Kepala Garuda. Aku mencoba memotivasi mereka yang sudah lelah (sok-sokan sih), aku bilang, "Kaderisasi dari Merbabu, kalau mengerjakan sesuatu itu harus dikerjakan sampai selesai" (by Agis). Namun nihil, mereka malah bilang, "yaudah kamu aja". Kemudian aku memaksa Bibit. Melihat keberanianku, akhirnya Ugun mengikutiku. Kondisi track menuju puncak kepala adalah jalan setapak licin dengan samping kiri adalah tebing kawah 90 derajat, dan samping kanan adalah jurang batu-pasir. Jalannya sangat licin, sehingga aku tidak berani berdiri. Namun kulihat Bibit dengan santainya berjalan memandu aku dari depan. Aku masih juga tak kunjung berdiri, lalu aku merangkak. Di suatu titik, Ugun menyerah dan berkata kepadaku, "Dew, udah dew, bahaya ih. Gausah aja". Tapi aku masih bandel, aku masih mencoba merangkak. Kemudian aku terpeleset (alhamdulillah bukan terpeleset ke kawah), namun masih bisa menyelamatkan diri.
(tempat di saat aku terpeleset (ujung bawah leher garuda). Ke arah atas itu menuju kepala garuda)
Tiba-tiba semua kompak mendemotivasiku dengan alasan safety. Sejujurnya aku masih pengen, bukan pengen aja tapi pengen banget buat bisa naik sampai di kepala garuda, tapi tidak ada yang berani menanggung keamananku. Aku masih sempat berdebat dengan Ugun dan Bibit. Aku mau banget sampai puncak. Tapi kata Ugun, "udah Dew, kita udah sampai di puncak kok ini". Aku pun masih sempat menyangkal dan merengek, "Tapi aku maunya sampai kepala" T_T. Masih ada rasa ingin nekat tapi ketika aku lihat jalan ke atas juga semakin menyeramkan. Galau banget saat itu. Namun karena mereka semakin mendemotivasi, ditambah aku melihat ke arah kiri bawah (kawah), akhirnya akupun menyerah. Dengan berat hati aku berhenti sampai di leher puncak garuda. Entah, bagaimana caranya aku bisa ke sana lagi sampai di kepalanya puncak garuda. T_T
(Ujung atas itu adalah kepala Puncak Garuda)
Perjalanan Turun Ke Pasar Bubrah
Sebelumnya, kami ke sana membawa webbing karena aku yang memintanya. Dari saat koordinasi jauh hari sebelum berangkat, aku sudah request ke mereka, minta ditarik pakai webbing saat summit attack. Namun saat itu, kondisinya ada yang lebih lemah dari aku sehingga cukup gengsi untuk meminta ditarik pakai webbing. Alhamdulillah aku dan mereka bisa tanpa webbing.
Kami turun dari puncak sekitar pukul setengah 11 siang. Perjalanan menuruni daerah summit attack, tentunya adalah perjalanan yang ditunggu-tunggu dan menyenangkan, apalagi track pasirnya. Sebelum sampai track pasir, perjalanan turun kami penuh dengan kehati-hatian karena selain curamnya sudut track, batu yang kami pijaki rawan rapuh, selain itu juga terdapat ancaman terkena runtuhan batu dari atas.
 (Kondisi saat kami menuruni track sebelum pasir)
Pada saat sampai di track pasir, kami bermain-main dan bersenang-senang. Tidak ada dokumentasi poto namun kami mendokumentasikannya dengan beberapa video. Kami main lomba lari. Sedangkan aku lebih banyak main perosotan. Selain itu juga kami lomba banyak-banyakan mengeluarkan pasir dari sepatu.
(Video saat kami jalan menuruni track pasir)
(Video saat mereka berlomba lari di track pasir)
(Video saat mengeluarkan pasir dari sepatu (main banyak-banyakan))
(Start aku mulai membawa carier (carier terberat mereka), dari ujung akhir track pasir sampai ujung pintu Pasar Bubrah (ujung atas bukit kecil di depan itu adalah pintu Pasar Bubrah))
(Berpose di Pasar Bubrah)
Segala puji bagi Allah yang telah membuat kami sampai di puncak garuda meskupun tidak sampai di kepalanya. Semua kurasakan ada hikmahnya. Kurasa, ketidakpuasan itu hanyalah nafsu. Semoga lain kali bisa ke sana lagi dan sampai di kepala garudanya. Semoga lain kali aku menjadi lebih berani.
Mengulang naik gunung yang sama itu, rasanya enggak banget selama masih ada gunung yang belum aku daki. Tapi jika harus ada gunung yang aku ulang untuk kudaki, itu adalah Merapi.
Merapi, meski katanya tracknya paling sulit tapi menjadi gunung paling favouriteku. Merapi juga tidak terlalu dingin seperti Sumbing dan Merbabu (mungkin karena naiknya dini hari dan sedikit istirahat, jadi kerasa dinginnya pas shalat subuh aja). Aku suka banget sama Merapi.
Merapi kereeeeennnnnnnn banget, dan Allah yang menciptakan Merapi Maha kereeeeennnnnnnn banget. Aku cinta Merapi karena Allah. ^_^ (kutahu ini lebay tapi ini yang aku rasakan, hehe).

Perjalanan Turun dari Pasar Bubrah
Kemudian kami turun pada sekitar pukul 12 kurang, kondisinya panas-panasan, muka cukup terbakar. Kami mencari tempat yang lebih teduh untuk shalat dzuhur dan makan siang, namun cukup panjang kami tidak menemukan tempat yang nyaman. Kami berhenti di suatu tempat yang sedikit ada tanaman yang melindungi sebagian dari kami untuk makan dan minum. Saat itu persediaan makanan limit habis sehingga kami harus menerima kenyataan tersebut. Hal itu membuat kami sama-sama semangat untuk segera sampai ke bawah. Hingga kami sampai di tempat kami shalat subuh (saat naik: sekitar 3,5 jam sebelum sampai pasar bubrah) pada pukul setengah 2 siang. Kami shalat dzuhur berjama'ah di sana karena tempatnya cukup teduh karena pohon-pohon yang mengitarinya. Setelah shalat, kami istirahat dan bercanda-canda. Saat itu juga kami minum air terakhir. Perbekalan kami fix habis.
Tiba-tiba, dengan kompak, mereka membully aku hingga aku ngambek. Lalu aku mengajak Ugun untuk turun duluan dan kami turun dengan berlari. Yang aku pikir, selain karena memang ingin cepat sampai di bawah, aku enggan bareng sama mereka berempat yang nyebelin. Aku mengajak Ugun bersemangat untuk terus berlari. Mereka berempat lebih sering berhenti, sedangkan aku dan Ugun tidak pernah berhenti lagi sejak istirahat terakhir di tempat shalat. Namun ketika menyusul, mereka berempat cepat sekali, sesekali aku dan Ugun hampir tersusul mereka namun aku selalu menambah kecepatan ketika mereka mendekat. Ketika aku mulai merasa lelah dan menurunkan kecepatan, mereka masih sempat menyindir, "eh, cuma tim advance yang tau jalan. Kita gak boleh ngeduluin". Hal itu menyebalkan bagiku saat itu, mereka nyindir banget. >_<
Namun ternyata, apa yang mereka lakukan padaku adalah unsur kesengajaan. Hal itu adalah trick supaya aku dan mereka cepat sampai di bawah, melihat perbekalan kami yang telah habis. Dengan membuatku ngambek, mereka pikir aku akan turun dengan cepat mendahului mereka. Dan trick mereka tepat sekali. Meskipun nyebelin. >_<
Aku jadi ingat, ketika di Merbabu, aku adalah orang yang memperlambat tim sweeper karena aku jalan turun dengan sangat lama. Namun saat di Merapi, aku memakai sepatu dan aku berani berlari. Kami sampai di pos 'New Selo' pukul 4 sore.
(Pos 'New Selo')
(Basecamp Bara Meru Merapi)
Dan ternyata lagi (setelah aku melihat video testimoni dari sang kapten), saat mereka berkata cukup sampai di pasar bubrah saja, tidak usah naik ke puncak, itu juga salah satu trick mereka juga. Mereka menamakannya sistem 'demotivasi'. Menurut mereka, aku adalah orang yang beda. Mainstreamnya, kalau orang memotivasi dengan cara membujuknya dari depan untuk sampai ke puncak. Namun aku diperlakukan beda. Dengan mereka memanas-manasi aku untuk tidak usah sampai puncak maka keinginanku untuk sampai puncak malah semakin kuat. "Dan terbukti aku menjadi kuat, sedangkan mereka semua loyo. Hahahahaha". Namun, tetap saja mereka tidak mengakui prestasiku. Mereka bilang, hari itu adalah hari kebalikan. Hmmmm, yasudahlah tapi. -.-

Special Thanks to Ach ArbiAdam Wicaksono Al FaqihBibit AurumGuntur GunawanMuhammad Ridwan yang telah menemani perjalanku yang ekstra keren dan udah banyak banget ngasih pelajaran-pelajaran berharga, serta mendidikku dengan cara yang anti mainstream ^_^

Dokumentasi Perjalanan Merapi: