About me

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Instagram: @dewikusumapratiwi Facebook: https://www.facebook.com/dewi.kusumapratiwi

Rabu, 02 September 2015

TA Berasa Tesis : Sebuah Catatan Kegagalan Seorang Mahasiswa

Calon Dokter yang Gagal

Dimulai dari cita-cita SMA. Pengen banget masuk FK, tapi maunya cuma FK di Universitas “Itu”. Semua ujian yang diikuti cuma yang ada pilihan Universitas “Itu”, mulai dari PMDK, UMB, Seleksi Masuk (ujian mandiri), dan SNM-PTN. Tapi semua gagal. Guru-guru udah mengarahkan untuk aku memilih universitas yang passing gradenya lebih di bawah tapi aku ngeyel karena cuma mau Universitas “Itu”. Kenapa sih? Namanya juga anak SMA, masih pendek pikirannya. Antara ambisi, gengsi, dan pemikirann yang kurang logis. Pengen banget jadi dokter spesialis penyakit dalam yang meneliti dan menemukan obat untuk penyakit-penyakit mematikan. Karena saat nenek dan kakekku sakit lalu akhirnya meninggal, aku tak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, aku ngefans sama dokter, soalnya sejak bayi sampai usia 7 tahun ketemu dokter spesialis anak hampir setiap seminggu sekali karena aku pernah menderita asma akut. Pikiran saat itu, kalau mau lanjut sekolah yang lebih bagus lagi harus masuk sekolah yang bagus dulu. Dan FK Universitas “Itu” adalah FK terfavourite di Indonesia.

Mampir di FMIPA ITB

Pas SNMPTN galau pilihan keduanya apa, sampai daftar aja di hari terakhir, langsung ke panitia pusat, di FE UI, Salemba, Jakarta Pusat. Setelah konsultasi dengan banyak orang termasuk guru-guru, akhirnya milih FMIPA ITB. Suka FMIPA? Gak. Katanya ITB ada TPB (Tahap Persiapan Bersama), di mana wajib belajar Matematika, Fisika, dan Kimia dasar lagi selama setahun. Yah, mending di FMIPA ITB daripada nganggur, sambil nguatin lagi pelajaran basic sciencenya buat persiapan SNM-PTN tahun depan (istilahnya di FMIPA ITB cuma mau mampir). Apalagi ITB terkenal sebagai kampus terbaik (di Indonesia) di bidang science, technology, dan art nya.

Fisika ITB adalah Pilihan

Tahun depan pas mau ikut SNM-PTN, ayah meninggal. Gak jadi ikut deh. 2X ngisi koesioner penjurusan, pilih Kimia. Alasannya, di antara semua pelajaran science, yang paling bagus nilainya dan paling seneng adalah Kimia. Udah gitu kan Kimia paling nyambung sama FK, apalagi KK Biokimianya. Tapi pas ngisi koesioner ke-3 (terakhir) belok ke Fisika. Apa karena aku jago Fisika? Gak. Suka Fisika? Gak juga. Lebih suka Kimia sama Biologi lah. Terus kenapa masuk Fisika? Alasannya rada bodoh, karena Himafi (Himpunan Mahasiswa Fisika) terlihat paling keren saat itu. Kekekeke. Ah, maksudnya waktu itu Himafi ngadain workshop Kelompok Keahlian (KK) Fisika yang mendatangkan dosen-dosen Fisika untuk promosi KK dan jurusan. Sebenernya promosi jurusan udah ada di mata kuliah TPB, yaitu PK MIPA. Tapi di workshop Himafi, Fisika terlihat sangat menarik. Dosen-dosennya juga asik. Mereka “orang besar” tapi mau bergaul dengan mahasiswa.

Ditambah aku ketemu seorang profesor ahli nuklir. Beliau sempet bilang, dari Fisika bisa lanjut ke FK. Tapi FK yang di Jepang atau Amerika dan beliau bersedia untuk merekomendasikan siapapun yang berminat, tapi tentunya dengan sebuah pengaryaan selama kuliah S1 di ITB. Lah, kok bisa anak S1 Fisika lanjut S2 FK? Kata beliau, sistem pendidikan di Indonesia memang rada kacau. Kalau di Jepang sama Amerika, S1 tuh belum “dianggap”, masih belajar ilmu-ilmu dasar, bahkan untuk FK sekalipun. Tertariklah aku untuk mengobrol langsung dengan beliau. Setelah itu langsung manteb pilih “Fisika”.

Yah, semangat bom anak baru. Ambisi. Lama-lama terlena. Ternyata Fisika sulit dan effortku rendah banget saat itu. Aku lebih tertarik berorganisasi daripada kuliah Fisika. Jadi aktivis lebih seru daripada jadi akademisi. Alhasil kuliah cuma sekedar lulus dan yang penting IPK masih standar untuk bisa dapetin beasiswa, karena aku kuliah di ITB memang (butuh dan) pake beasiswa (BUMN). Bahkan saat masuk lewat SNM-PTN pun pake beasiswa (BMU dari pemerintah). Padahal syarat untuk bisa lanjut S2 FK dengan bantuan profesor tadi adalah IPK cumlaude dan ngambil minor di Farmasi / Biologi, serta membuat suatu pengaryaan yang bisa nganterin aku ke FK. Bukan hal yang mudah. Harus rajin banget lah. Ah entah, aku lupa dengan cita-cita itu. Susah banget dapet IPK cumlaude di Fisika. Cuma segelintir orang yang memang “pinter” doang yang berhasil dapetin IPK cumlaude di Fisika ITB. Da aku mah biasa aja (usahanya juga biasa aja pula).

Mengambil Tugas Akhir (TA) / Skripsi

Sejak semester VI (semester VI loh, masih tingkat III kuliah di ITB) udah mulai nyari topik TA (Tugas Akhir / Skripsi) sendiri. Balik lagi ke ingatan dahulu, “harus yang berhubungan dengan kedokteran dan penyakit mematikan”. Dapetlah Boron Neutron Capture Therapy, suatu teknologi pengobatan kanker pake radiasi nuklir. Langsung menghubungi profesor yang sebelumnya aku ceritain. Ah, meskipun gak jadi ke FK,  mungkin aku bisa belok ke Nuclear Medicine karena ternyata yang menemukan teknologi pengobatan gitu kebanyakan malah bukan dokter (apalagi dokter umum) tapi orang Medical Physics, Nuclear Physics, Biomedical Engineering (teknik elektro), atau jurusan science atau engineering yang lain.  Langsung ngincer dosen pembimbing (dosbing) profesor yang tadi aku ceritain karena beliau profesor yang ahli di bidang nuklir. Aku rasa berhubungan dengan topik yang aku pilih.

Aku menghubungi beliau saat semester VII karena semester sebelumnya aku mempelajari topik itu dulu secara umum biar bisa aku ceritain ke beliau. Beliau nanya, “anda lebih ingin ke kedokterannya atau reaktornya?” “Kedokterannya pak”. “Kalau gitu sama bu R*** aja”. “Memangnya kalau sama bapak gak bisa ya? Saya mau masuk bidang kedokteran nuklir pak. Kalau bu R*** kan lebih ke biofisika spesialis imaging ya pak?”. “Oh iya. Tapi sayangnya, di ITB KK nuklir lebih ke power plant (reaktor daya). Kalau mau medis, paling masuknya biofisika. Dan kalau memang anda mau topik itu dan lebih ke kedokteran, saya rekomendasikan ke bu R***”. Aku ditolak T_T

Tapi aku mengikuti saran beliau. Langsunglah aku menghubungi doktor R*** (yang pada akhirnya menjadi dosbingku). Pertama kali yang ditanya, “kamu mau dosennya atau topiknya?”. “Topiknya, bu”. “Baiklah, kalau begitu, bla bla bla”. Berjodohlah aku dengan beliau. Semester VIII baru ngambil SKS TA I karena saat itu aku masih berorganisasi dan sengaja mau lulus April 2014. Aku seneng / passion dengan topikku tapi masih aja nyantai buat ngurusin TA, padahal keinginan sangat ideal. Pengen perfect lah, pengen TAnya bisa dimanfaatin, dan pengen predikat TA terbaik. #ngek (cuma pengen)

Masalah TA

Karena merasa punya banyak waktu, aku masih fokus sama organisasi dan amanah-amanah luar akademikku saat itu. Selain itu, aku juga terlalu berani nyuci nilai suatu mata kuliah wajib. Maksudnya biar IPK nya rada tinggi lagi lah. Eh, tapi malah kecelakaan. Udah gitu, kena juga kurikulum baru (kurikulum lama berakhir untuk lulusan Oktober 2013). Mati gue, belum ngambil SKS TA II, progress juga belum signifikan, ngambil kuliah pula di semester baru periode 2013/2014. Kesempatan wisuda April 2014 gagal karena semester itu (semester II tahun 2013/2014) aku harus ngambil mata kuliah wajib ITB (lagi) karena peraturannya diganti (mata kuliah manajemen sama lingkungan yang pernah aku ambil gak berlaku lagi untuk kurikulum baru). Fokus pun pecah. Perkuliahan baru bisa aku selesaikan di tahun 2014. Harusnya bisa wisuda Oktober 2014 (telat setahun lah). Namun, kuliah kelar, TA pun bermasalah.

Saat itu aku udah nikah (sejak Maret 2014). Apa alesan TA bermasalah karena nikah? Sama sekali enggak. Gak ada hubungannya sama sekali. Malahan harusnya dengan udah nikah, semua jadi lebih mudah dan cepat. Tapi ini semua murni kesalahan pribadi. Mulai dari idealisme yang tidak dibarengi ikhtiar ekstra, sungkan ketemu dosbing saat stuck dan progress belum signifikan, kesulitan mencari data dan software yang diperlukan, sakit berkali-kali, terus masuk trimester I (Januari 2015) yang cukup berat, sampai laptop hilang beserta data-data yang belum diback up saat lagi deadline (Mei 2015). Akhirnya semua masalah itu baru bisa dikelarin Agustus 2015 ini.

“Aku tidak tahu ini rezeki atau musibah, aku hanya berharap Allah memberikan yang terbaik”. Hikmah yang bisa aku ambil banyak. Mungkin aku memang harus nunggu suami (http://dewikusumapratiwi.blogspot.com/2015/05/sekilas-tentang-arbi.html) buat lulus biar dia gak minder dan merasakan nikmat(dan pahit)nya  berjuang bareng. Mungkin biar aku berkaca kalau aku bukan siapa-siapa sehingga gak pantes buat berbangga diri. Mungkin biar aku belajar dari kegagalan dan kesalahan. Mungkin juga Allah ingin menegur atas dosa-dosaku yang begitu banyak. Tapi aku merasa bersyukur dengan semuanya. Aku jadi lebih merasa kalau pertolongan Allah itu sangat dekat dan bermakna. Apalagi saat menghadapi pekan-pekan sidang. Pas banget masuk trimester III. Berjuang bareng calon baby itu luar biasa banget. Bukan cuma ujian-ujian TA aja, tapi juga ujian-ujian administrasi yang cukup melelahkan untuk mengurusinya. Dan juga ujian hidup yang mungkin merupakan ujian paling berat. Namun berkat pertolongan dan kasih-sayang Allah, kami bisa melaluinya.

Akhir dari deriTA cinTA

Alhamdulillaah, 12 Agustus 2015 aku seminar (sidang TA I) dan 1 September 2015 aku sidang akhir (sidang TA II). Karena pertolongan Allah dan doa-doa tulus dari orang-orang yang sayang sama aku, termasuk calon baby, sidangnya lancar, sukses, dan hasilnya sangat memuaskan. Alhamdulillah gak perlu revisi. Mungkin karena calon baby udah sering diajak begadang jadi Allah ngasih waktu buat relaksasi sembari menunggunya lahir.

Perjuangan gak berhenti sampai di sini, perjuangan sesungguhnya baru akan dimulai. Amanah satu alhamdulillah udah selesai. Amanah-amanah yang mungkin lebih berat sedang menunggu. Semoga segala kegagalan ini menjadi pelajaran berharga buat aku ke depannya. Setelah ngerjain TA, jadi merasa cethek ilmu. Pengen lanjut sekolah lagi. Tapi nanti lah, gak mau memutuskan sesuatu karena ambisi lagi seperti dulu. Perlu persiapan dulu, belajar lagi, sambil mengerjakan amanah-amanah baru yang ada di depan dan menyelesaikan resolusiku sejak 2 tahun lalu yang gagal (http://dewikusumapratiwi.blogspot.com/2014/02/resolusi-di-usia-23.html). Aku tidak ingin masa-masa golden age anakku yang singkat dan hanya datang sekali terlewatkan. Mudah-mudahan Allah memampukan.

Pesan Sahabat

Saat aku sedang dalam masa-masa “kritis”, alhamdulillaah Allah mengirimkan sahabat-sahabat yang luar biasa. Mereka ada untuk mengamalkan Q.S. Al-Ashr. Ada beberapa nasehat yang sampai sekarang aku ingat, bahwa:
“Pemenang sejati bukan tentang siapa yang duluan, tapi tentang siapa yang bertahan”
“Parameter kesuksesan setiap orang berbeda-beda. Namun kesuksesan sejati hanyalah syurga firdaus”
“Orang yang beruntung adalah orang yang selalu menyertakan Allah dalam setiap langkah kehidupannya”

Tulisan ini bukan untuk klarifikasi. Aku hanya ingin aku dan siapapun mengambil hikmah dari kegagalanku ini. Supaya aku tidak seperti keledai yang jatuh ke lubang yang sama lagi, juga supaya orang-orang yang belum pernah merasakan tidak merasakan kegagalan ini, apalagi dengan sebab yang sama. Ah, terserah saja pada pandangan orang. Memang kenyataannya aku lulus telat dan “segala keburukan yang menimpaku memang murni karena kesalahanku sendiri. Datangnya pertolongan hanyalah dari Allah semata”. Bukan karena aku solehah, bukan karena aku rajin berdoa, apalagi amalan-amalan yaumiyah. Aku hanyalah manusia yang sering futur. Semua pencapaian ini murni karena Allah Maha Pengasih.

Hikmah yang Dapat Dipetik
 
Buat yang masih kuliah, jangan pernah menyerah!!! Jangan mengeluarkan kata-kata, “aku gak passion sama kuliah ini”. Kamu sudah memilihnya, kamu sudah memulainya, maka kamu harus bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Ini bukan soal penting atau gak penting. “Gak ada ilmu yang gak berguna". Kalau sekarang kamu gak tahu buat apa kamu harus belajar itu maka telen aja dulu. Mungkin suatu saat kamu akan membutuhkan atau sadar bahwa ilmu itu penting. "Penyesalan selalu terletak di belakang”. Ini bukan soal passion atau gak passion. Sekali lagi, ini semua soal TANGGUNG JAWAB.
Organisasi memang penting, tapi jangan terlalu over. Amanah kita bukan hanya di sana. Malahan amanah yang diberikan kepada kita pertama kali saat masuk kampus adalah menyelesaikan kuliah. Loyal dan total di amanah itu sangat baik, bahkan harus. Tapi jangan sampai ada yang dikorbankan meskipun fikih prioritas tetap berlaku.

Buat yang lagi skripsi / TA, jangan pernah sungkan sama dosbing. Percayalah, beliau gak akan ngomel-ngomel saat progressmu belum signifikan. Mereka gak akan marah saat kamu gak ngerti dan bertanya. Malahan mereka akan bingung ketika kamu “menghilang”. Mereka udah kamu pilih sebagai dosen pembimbing yang artinya kamu percaya untuk membimbingmu, maka jangan sia-siakan (manfaatkanlah) pilihanmu itu.
Jangan menunda-nunda pekerjaan kayak aku. Semakin kita menunda, tantangan dan ujian di depan akan semakin berat. Kita gak pernah bisa memprediksikan dengan akurat tentang apa yang akan terjadi di kemudian hari. “Ingat 5 perkara sebelum 5 perkara”.
Jangan juga terlalu idealis jika itu hanya akan menyusahkan dirimu sendiri. Santai lah, S1 memang belum ada apa-apanya. Ada tahapannya. Kalau mau lanjutin lagi bisa di S2, lalu S3. Tapi kalau mau kekeuh TAmu harus bisa diaplikasikan bahkan dipatenkan, ya usahanya harus ekstra banget. Sekali lagi, jangan pernah menunda-nunda. Waktu itu terasa sangat singkat dan cepat berlalu. Jangan sampai menyesal di akhir.
Buat semua yang punya cita-cita tinggi, ternyata "semakin tinggi cita-cita kita, semakin besar pengorbanan yang harus kita lakukan". Orang-orang besar itu (profesor, ahli / profesional, bisnisman, ulama, dll) tidak sempat “berpangku tangan”, mereka sedikit tidur, dan banyak sekali menghadapi masalah-masalah. Mereka bukan tidak pernah gagal, tapi mereka cepat move on dari kegagalan.
Allaahu ‘alam bi shawab.
Cukup sekian pesan-pesan dari seorang mahasiswa yang gagal, mudah-mudahan gak ada lagi yang menapaki jejak kegagalanku.