Pacaran. Aku hampir tak pernah jomblo. Aku selalu butuh sosok lelaki yang bisa melindungiku. Antar jemput saat aku pergi. Menemani saat aku sepi. Bertanya saat aku tersesat. Berbagi saat aku ringkih. Saat putus, butuh waktu untuk aku move on. Lama untuk aku menyembuhkan luka. Panjang untuk aku melupakannya. Meski biasanya selalu aku yang mutusin mantan-mantan pacarku terlebih dahulu.
Yang paling terakhir, aku pacaran dengan sosok seorang aktivis dakwah. Bagaimana bisa ia jatuh ke dalam lubang maksiat bernama pacaran? Dengan aku yang begitu awam. Mungkin aku memang menarik? Atau akulah iblis penggoda yang jitu? Setahun lamanya aku menjalani hubungan dengannya. Dalam sebutan hubungan tanpa status.
Berbeda dengan mantan-mantanku yang lain. Pacaran dengannya hanya sebatas chatingan setiap hari. Isi chatingan kami kebanyakan hal-hal positif. Meski tetap ada sedikit gombal darinya yang membuatku klepek-klepek. Bahkan tak jarang ia menasehatiku dan memberikanku semangat. Pernah sesekali bertemu dan jalan berdua, namun dengan jarak, tanpa sentuhan. Aku merasa nyaman dengannya.
Satu tahun berlalu. Suatu hari, saat kami sedang jalan berdua, kami kepergok oleh guru ngajinya. Tak lama ia dipanggil dan dinasehati. Sejak itu, ia menghilang tanpa kabar. Saat itu aku menulis puisi, untuk menggambarkan isi hatiku.
Ada yang hilang dari jiwaku
Saat aku telah memiliki
Kini aku tersesat mencarimu
Di laut yang dalam
Saat melintasi langit biru
Kini aku hilang tanpamu
Di tengah hutan rimba
Saat melintasi awan hitam
Rasa ini tak dapat ditebak
Aku juga tak tahu datang dari mana
Dan mengapa pergi begitu saja?
Di mana salahku?
Aku tak tahu, sampai kapan aku harus menangis karenanya...
Hingga suatu hari, ia datang ke kosanku sembari membawakan sebuah kado. Tentu aku sangat senang. Namun ternyata ia tak lama. Hanya sekedar mengantar kado, lalu pergi, tanpa banyak ucap. Saat kubuka, isinya adalah sebuah surat dan sebuah buku tulisan Ustadz Salim A. Fillah yang berjudul Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan. Isi suratnya membuatku kembali banjir air mata.
"Putri, maafkan aku yang telah khilaf
Mendatangimu adalah hal yang salah
Di waktu yang belum tepat
Putri, berhentilah menangis
Jangan sia-siakan air matamu
Hanya demi aku yang tak pantas untuk kau tangisi
Karena yang pantas menguasai hatimu,
Hanyalah Allah semata
Putri, buatlah bidadari surga cemburu padamu"
Tiga bulan aku menangis. Meratapi ia yang telah pergi. Namun aku juga refleksi. Bahwa jika aku ingin mendapatkan yang terbaik, aku pun harus jadi yang terbaik. Ia telah jatuh di jalan kelam, namun kini ia telah bangkit menuju jalan terang. Dan jika aku menginginkannya, aku pun harus mengikuti jejaknya. Jika kami memang berjodoh, cinta pasti bertemu kembali, meski aku dan ia terpisah oleh ratusan pulau.
Kini hari-hariku tak lagi sepi, meski tanpanya dan tanpa pacar. Karena aku memiliki banyak teman solehah yang selalu membantuku untuk menjaga hati. Menemani saat aku pergi. Menjengukku saat aku sakit. Meminjamkan pundak saat aku ringkih. Menjadi petunjuk saat aku sesat. Kini, masjid menjadi tempat tongkronganku bersama Al Quran. Majelis ilmu menjadi tempat yang selalu kurindukan.
#day24 #30dayswritingchallenge #30dwcjilid9 #squad7 #fightersquad7 #tulisanbertema #temajatuh #jatuh #fiksi #cerpen
Seen by Dewi Kusuma Pratiwi at 6:27pm
nice blog
BalasHapuscara membersihkan kucing