Entah mungkin alasannya tidak syar'i, namun aku tidak suka dipanggil "wi". Dalam benakku, panggilan "wi" terkesan merendahkan atau bernada tinggi. Mungkin aku masih terima jika yang memanggil adalah orang tua. Namun orang-orang yang sebaya, terkesan ***' dan kurang enak didengar dan dirasa. :-P
Teman-teman yang merasa akrab denganku biasa memanggilku "Dedew" dan aku suka dengan panggilan itu.
Makasih Rahma, Dian, Arin, Deva, kak Ritzqi, Andre, kak Nadia, Indah, yang dari awal telah memanggilku dengan panggilan yang aku suka. Makasih untuk Dera, Icha, Wulan, Puput, Haris, Adam, dll yang mulai terbiasa memanggilku "Dedew". Makasih untuk semua yang sering memanggilku "Dew". ^_^
I love you all. :-P
(entahtulisaninipentingtidakpenting)
About me
- Dewi Kusuma Pratiwi
- Bandung, Jawa Barat, Indonesia
- Instagram: @dewikusumapratiwi Facebook: https://www.facebook.com/dewi.kusumapratiwi
Rabu, 29 Agustus 2012
Untukmu yang Ingin Mati
Tulisan ini aku buat beberapa bulan yang lalu khusus untuk seorang sahabat yang katanya ingin “mati di jalan dakwah”. Ternyata masih aku simpan
filenya dan sepertinya tidak masalah jika aku post di blog untuk sekedar
sharing dan mudah-mudahan bermanfaat untuk diriku dan orang-orang yang
membacanya.
Tentang dia yang katanya ingin mati, dia yang banyak
memvorsir tubuhnya untuk kegiatan dakwah sehingga dia sering sakit. Dari situ,
aku sempat bertanya pada ustadz di INSIST, ustadz Mohamad Ishaq, tentang hal
tersebut. Beliau menjawab:
“Mati syahid itu
berbagai macam tingkatannya, yang tertinggi adalah "mati" berperang
di jalan Allah, dan yang lebih rendah dari itu ada beberapa seperti seorang ibu
yang wafat karena melahirkan, bencana, sakit, tertimpa, dan lain-lain.
Ada hadith juga :
"”Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di
jalan Allah, dan Allah lebih mengetahui siapa yang telah terluka di jalan-Nya
kecuali dia akan datang pada hari kiamat dengan warna seperti warna darah dan
wanginya seperti wangi kesturi.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jadi mati syahid ada
beberapa kategori, namun perlakuannya berbeda: syahid di medan perang tidak
perlu dimandikan, dikafani dan lain-lain. Sedangkan syahid yang lainnya tetap
diperlakukan seperti biasa.
Kalau syahid karena
berda'wah, mugkin harus diperjelas penyebabnya dahulu. Kalau ia sakit karena
tidak mau makan atau kurang menjaga kesehatan, padahal ia memungkinkan untuk
melakukannya, beliau kira itu adalah sikap yang DZHALIM. Karena ada konsep
tawazun juga dalam da'wah itu. TENTU TAWAZUN BUKAN SIKAP MANJA
Akan tetapi kalau
sakitnya itu karena memang sudah berusaha tawazun, kemudian tetap sakit. Maka
jika seorang yang tertimpa saja dapat disebut syahid, maka apalagi seorang yang
berda'wah dan berjihad. Da'wah termasuk kategori berjihad sebab jihad bisa
dengan amwal dan anfus, juga ilmu. Menurut Syaikh Abdullah Azzam Allahu yarham,
dalam kondisi jihad fardhu kifayah, ada dalil dari al-Qur'an yang menunjukkan
aktivitas memperdalam ilmu adalah tugas yang tidak sepatutnya ditinggalkan
karena berjihad :
"Dan tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu berangkat berperang semuanya,
kenapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…".
Dalam hadith juga
disebutkan "orang yang mencari ilmu bagaikan berjihad di jalan Allah
hingga ia kembali (man kharaja fi thalabil 'ilmi, fa huwa jihad fi sabilillah
hatta yarji'a)".
Hanya saja kategori
syahidnya bagaimana, beliau tidak bisa memastikan. Perlu ditanyakan kepada ahli
fiqh. Terakhir: mohon difahami lagi makna kata "karena" dalam
"Kalau ia sakit karena tidak mau makan atau kurang menjaga kesehatan"
bukan hubungan kausalitas semata tapi OCCASIONALITAS. Allahu a'lam”.
Dari aku: aku dulu juga pernah berpikiran ingin segera mati
dalam syahid, mati karena kesibukan menuntut ilmu atau mati karena penyakit.
Tapi aku akui, itu memanglah sikap manja. Aku mendapatkan sesuatu yang insya
Allah sangat bermanfaat, dari hasil diskusi dengan salah seorang sahabatku,
Setyo (ketika itu diskusi bertiga bareng Haris usai rapat Kampus Peduli).
Tentang mimpi2nya untuk menjadi bagian dari khilafah islam, tentang ayat2 yang
dia lantunkan:
“Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab
itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan
pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Maka apabila
datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami
datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu
mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti
terlaksana. Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka
kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami
jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan)
itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang
kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan
mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali
pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.
Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu
kembali kepada (kedurhakaan) niscaya kami kembali (mengazabmu) dan kami jadikan
neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS al-Israa’ :
4-8)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama
kalian, dan Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai
agama kalian.” (Al-Maidah: 3)
“Kamu adalah UMAT yang TERBAIK yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)
Dari sana aku berpikir dan nuraniku mengatakan, "AKU
JUGA MAU!!! aku juga mau tergabung dalam golongan UMAT TERBAIK di akhir zaman
yang berkontribusi dalam penegakan khilafah islam" dan semua itu memang
membutuhkan persiapan yang sangat matang. Mereka, kaum yahudi, telah
mempersiapkan perang dunia III selama bertahun2, sedangkan aku? aku baru sadar
akan adanya perang itu di akhir zaman nanti dalam keadaan aku masih
"bodoh". Tapi, katanya tidak ada kata terlambat selama Allah masih
memberikan kesempatan untukku di sini. Persiapan itu memang sangat membutuhkan
perjuangan dan waktu karena aku masih sangat nol bahkan bisa dibilang minus,
dari segi pemahaman yang harus terus aku bangun dan aku cari, hafalan Al-qur'an
yang masih sangat sedikit, dan persiapan2 lain yang tidak sedikit serta bekal
yang tidak main2. Kata Rasulullah ketika ditanya sahabatnya, "kapan akhir
zaman itu tiba ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab "sebentar
lagi". Yah, sebentar lagi, dan itu gatau kapan. Bisa jadi tahun ini, tahun
2012, di mana mereka melakukan konspirasi besar2an, pesta bola dengan
lambangnya, dll. Entah apa yang akan terjadi pada tahun ini. Atau tahun depan?
atau 5 tahun ke depan? Aku masih ingin tetap menjadi bagian dari umat terbaik
itu bagaimanapun caranya. Mungkin selemah2nya usahaku adalah dengan berdo'a.
Di luar mimpi yang besar itu, yang membuatku masih bertahan
untuk bersemangat hidup adalah "cinta". Aku ingin mencintai orang2 di
sekitarku. "Cinta itu memberi, bukan menerima", itu yang aku rasakan
selama ini.
”Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak
manfaatnya bagi orang lain” (HR.Bukhari). Ya, aku ingin mati dalam keadaan
memberikan manfaat bagi orang lain. Aku ingin mati untuk dikenang baik. Aku
ingin seperti Rasulullah dan para sahabatnya yang walaupun sudah tidak ada di
dunia ini, namanya masih sangat dekat dengan semua umat. Aku inigin seperti
ustadz Rahmat Abdullah dan ustadzah Yoyoh Yusroh yang telah tiada tapi kisah
hidupnya menginspirasi banyak orang. Aku ingin seperti ayahku, ketika meninggal
banyak orang yang menangisinya karena kebaikannya dan ketika dimakamkan,
ratusan orang mengantarkannya sampai penguburan selesai bahkan orang2 masih
banyak yang turut mendoakannya. Dan jika saat ini aku mati? Mungkin tidak ada
peduli? Mungkin tangisan dari sedikit orang hanyalah basa basi karena adat
berkabung? Atau mungkin malah banyak yang bersyukur karena aku telah pergi
untuk selamanya dari sekitarnya? karena mereka tidak suka dengan kelakuanku
selama ini? karena aku belum memberikan banyak manfaat untuk mereka? karena aku
selama ini hanya menyusahkan mereka? atau karena memang aku terlalu hina
sehingga memang sebaiknya aku tidak ada di dunia ini? Naudzubillaah, aku tidak ingin mati dalam keadaan seperti itu.
Allaahu ‘alam bi shawab.
Langganan:
Postingan (Atom)