LDR,
membuat orang kudet menjadi cupdate, membuat orang chupu menjadi gaul, membuat
orang kalem menjadi terlihat show off. Tidak. Mereka bukan bermaksud show off
atau pamer penderitaan, tapi mereka hanya butuh berekspresi sesaat. Karena pada
hakikatnya wanita itu butuh didengar, setelah itu sudah. Bahkan kadang dia lupa
apa yg telah diceritakannya. Mereka bukannya lemah, bahkan sebenarnya mereka
itu kuat. Kuat banget malah.
Sebelum
ini, aku sering sekali mendengar dan membaca curhatan wanita2 LDR. Termasuk
teman-teman dekatku sendiri. Saat itu aku hanya simpati dan dengan gampangnya
bilang, "sabar ya sob. Kamu kan kuat, udah pernah melalui kesulitan2
sebelumnya". Nasehat dan hiburan standar. Tapi kini aku dapet pelajaran
untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Jangankan 2-6 bulan, 2 minggu aja
berat, 2 hari pun sebenarnya terasa berat...
"Karena
waktu terasa lama bagi orang yg menunggu". (Makanya cowok2 jangan suka
ngegantungin atau bikin cewek menunggumu terlalu lama. "Nikah itu simple
kok, kalo lo bener2 niat". #eh #salahfokus)
Ibuku
juga pernah LDR dan sangat menyarankanku untuk tidak LDR. Katanya, meskipun
harus terpaksa LDR, tinggal aja di rumah ibu atau mertua, atau nanti pas udah
punya anak aja karena rasanya akan beda, ada hiburan. Beliau udah merasakan LDR
pra dan pasca punya anak, bahkan bertahun2. Tanteku juga. Mereka tetap berharap
aku tidak mengalami hal seperti mereka. Kalau kata orang Jawa lebih baik
“mangan ora mangan sing penting ngumpul” (makan atau tidak makan yang penting
kumpul).
Aku
respect banget sama wanita2 yg LDR, meski terpaksa ataupun pilihan. Tapi aku
rasa hampir tidak ada yg memilih untuk sengaja LDR. Keadaan yg membuat orang
harus memilih LDR. Karena memang berat. Apalagi bagi wanita yg sudah
berpasangan. Mungkin, untuk orang yg belum merasakan, akan berkata
"ya'elah, dulu kan lo juga sendiri. Bisa tuh". Mungkin akupun
termasuk yg berkomentar seperti itu. Tapi, ternyata memang beda ketika kita
sudah menikah. Coba aja kalau mau. :-P
Kebetulan
suamiku ada di bidang electrical engineering. Meski belum lulus, tapi sejak TA,
alhamdulillaah selalu dilibatkan dalam proyek dosennya yang lumayan produktif.
Tapi selama ini kebanyakan kerjaannya ngoding di lab PLN. Ke lapangan cuma
sesekali. Selama nikah, baru 3 kali ditinggal. Pertama ditinggal 4 hari ke
Chevron di Duri, Riau, tapi waktu itu aku masih bisa pulang ke Jakarta jadi ga
terlalu kesepian. Kedua ke PLN Pekanbaru, Sumatera. Cuma 2 hari sih, tapi itu
perdana aku harus tetep stay di Bandung karena aku juga banyak urusan. Sedangkan
aku type orang yang gak bisa tinggal sendirian malem2 sejak dulu sebelum nikah.
Sekarang
ke Total, Balikpapan, Kalimantan Timur. Yang ini sih kemarin bilangnya
seminggu, tapi ternyata ada kendala di sana sehingga harus nambah waktu lagi.
Kali ini posisi beliau bukan lagi sebagai follower dosennya kemudian kerjaannya
cuma ngoding seperti kemarin2, tapi beliau punya peran baru yang cukup berat,
yaitu sebagai manager tim. Sebelum berangkat, nama beliau didaftarkan sebagai
electrical engineer expert. Ternyata itu bukan jabatan untuk sekedar gaya2an.
Tugasnya berat untuk porsi mahasiswa tingkat akhir. Di sana beliau ditinggal
dosennya pulang ke Bandung, sehingga beliau diposisikan sebagai manager tim
dalam proyek besama PT Total E&P Indonesie, yg harus tau banyak hal yang
berkaitan dengan pekerjaan mereka, memimpin tim yang isinya orang2 yang lebih
berumur dari beliau, bertanggung jawab atas timnya, menjadi pusat bertanya
(baik timnya maupun orang2 dr PT Total sendiri), bahkan harus sering rapat
bareng bos2 di PT Total, di sana disejajarkan dengan mereka sehingga jika
beliau ditanya2 harus mampu menjawab layaknya seorang profesional di bidang
electrical engineering. Juga banyak sekali pekerjaannya yang lain. Sampai2
hampir setiap hari tidur menjelang pagi karena harus banyak belajar setelah
pulang kerja. Subuh bangun, persiapan dan kembali lagi bekerja.
Di satu
sisi aku sedih karena harus LDR dan jarang dihubungi. Jarang ditelpon,
komunikasi whatsapp juga sering searah karena saat beliau whatsapp, aku sudah
tidur. Saat aku bales, paginya beliau udah sibuk lagi. Apalagi waktu di sana
satu jam lebih cepat dari di sini. Tapi di sisi lain, rasa sedihku telah
dikalahkan oleh semangat beliau yang luar biasa dan rasa syukurku karena
suamiku dikasih kepercayaan yang besar. Apalagi orang Total sempet ga percaya
kalau beliau masih mahasiswa tingkat akhir dan langsung menawarkan jabatan di
PT Total E&P Indonesie pasca lulus dari ITB nanti.
Bulan
lalu aku ikut seminar bertema "Women in Science, Engineering and
Technology" (notulensi belum diposting) dan aku berkesimpulan: aku tidak
ingin bekerja di bidang hard science/engineering (meski gatau jalan yang
dikasih Allaah nanti gimana). Namun aku sangat salut dengan wanita2 luar biasa
yang mengisi seminar tersebut. Mereka adalah para engineer terutama yang
bekerja di bidang oil and gas, dan akademisi yang aktif proyek di lapangan /
hard science. Mereka wanita2 strong (lahir-batin) yang bekerja seporsi dengan
laki2, mereka LDR dengan suami serta keluarganya, bahkan mereka menjadi "bang
toyib" yang jarang pulang menemui anak dan keluarganya. Sampai anak mereka
diurus pembantu / baby sister. Gaji mereka memang sangat besar, fasilitas
mereka memang terlihat wah, meskipun aku sangat salut dengan kestrongan mereka,
tapi aku tidak ingin seperti mereka. Ini hanya soal pilihan.
Di hari
yang sama, aku ikut kajian "Sistem Pendidikan Khilafah" dan
"Peran Wanita dalam Islam". Tentang sistem pendidikan yang ideal, di
mana sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan sistem lain. Tentang peran
wanita. Bahwa wanita berperan penting dalam mencetak generasi2 terbaik dan
negara yang madani. Dari wanita muncul pemimpin yang akan menjadi pemimpin dan
mensejahterakan umat.
Pendidik.
Bukankah 4 wanita terbaik yang dijamin masuk syurga (Khadijah istri Muhammad,
Fathimah putri Muhammad, Asiyah istri Fir'aun, dan Maryam ummu Isa) itu adalah
seorang ibu dan pendidik?
Peran
wanita sangat penting dan tanggung jawabnya sudah cukup berat. Namun, materi
"Woman in Science, Engineering and Technology" tidak juga langsung
menguap. Jika digabungkan, maka aku berkesimpulan, "setiap dari kita
memiliki peran pada setiap bidang keprofesian masing2". Ilmu science,
engineering and technology itu hukumnya fardhu kifayah, maka bagi yang menuntut
sebaiknya memberikan kontribusi untuk umat/masyarakat melalui keilmuannya.
Namun, wanita jangan pernah melupakan hakikat dan peran utamanya.
Itu juga
salah satu alasan aku dan suami memilih untuk tidak punya anak dulu dalam waktu
dekat ini karena kami ingin ketika punya anak, saat itu aku sudah bisa fokus
dengannya. Kalaupun saat nanti aku sibuk dan harus menggunakan baby sister, aku
mau mereka selalu ada di bawah pengawasanku. Saat ini aku masih ingin banyak
mencari pengalaman. Mumpung masih muda. :-D Lagi2 ini soal pilihan.
Kembali
lagi tentang LDR, kalau disuruh milih, tentunya aku tidak ingin LDR. Aku yakin,
suamiku pun demikian. Hidup bersamanya membuatku terbiasa untuk hidup
sederhana. Jika ingin demikian, maka banyak jalan mudah. Salah satunya, jadi
PNS, gaji cukup, aman. Tapi kami sevisi untuk tidak hidup "selalu mencari
aman", untuk tidak hidup "biasa2 saja". Mungkin kami mampu hidup
sederhana, tapi orang sekitar kita belum tentu. Banyak yang menanti uluran
tangan kita. Yah, apapun itu, aku sudah mulai terbiasa menghadapi konsekuensi
dari setiap yang kami pilih insyaa Allaah. Bismillaah.
Kemarin
pas lagi galau2nya, baca tausiyah ini, rasanya pas sekali:
"Kehidupan seorang mu'min tidak akan
sunyi dari ujian: rasa sakit, kegelisahan, kegagalan, fitnah, dan musibah
lainnya. Tidak ada auliyâ' menjadi auliyâ' kecuali telah mengalami berbagai
hantaman hidup yang berat sebab hanya dengan itulah hamba Allâh naik derajatnya
menjadi mulia. Tetapi hati harus siaga untuk memahami rasa pahit sebagai
manisnya ujian, kerasnya pukulan sebagai latihan, kerasnya hidup sebagai
kelembutan dari Allâh. Kesiagaan hati itulah yang kita mintakan. Yâ hayyu yâ
qayyûm...lâ ilâha illa anta".
~Ustd.
Mohamad Ishaq